TEMPO.CO, Bekasi - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mulai membangun pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang milik DKI Jakarta di Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi, Rabu, 21 Maret 2018. Pembangunan infrastruktur pengolahan sampah dengan teknologi termal ditargetkan rampung pada akhir 2018.
Direktur Pusat Teknologi Lingkungan BPPT Rudi Nugroho mengatakan pemilihan teknologi termal dilakukan lembaganya berdasarkan kriteria best available technology meet actual need (Batman), yaitu teknologi terbaik (proven) yang banyak digunakan di dunia. Rudi mengklaim teknologi ini cocok untuk jenis dan kondisi sampah di Indonesia, ramah lingkungan, serta memiliki potensi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang tinggi.
"Pilot project pengolahan sampah proses termal Bantargebang ini sebagian besar peralatannya merupakan produksi dalam negeri," katanya di TPST Bantargebang, Rabu. Menurut Rudi, PLTSa terdiri atas empat peralatan utama, antara lain bunker yang terbuat dari concrete, yang dilengkapi dengan platform dan crane, serta bakar dengan reciprocating grate, yang didesain dapat membakar sampah dengan suhu di atas 950 derajat Celsius sehingga meminimalisasi munculnya gas buang yang mencemari lingkungan.
"Panas yang terbawa pada gas buang hasil pembakaran sampah digunakan untuk mengkonversi air dalam boiler menjadi steam di dalam boiler. Steam yang dihasilkan digunakan untuk memutar turbin untuk menghasilkan listrik," ujarnya.
Menurut Rudi, proyek percontohan PLTSa ini akan menggunakan sampah dari TPST Bantarbebang dengan desain nilai kalori (LHV) yang ditetapkan 1.500 kkal/kg, kapasitas 50 ton sampah per hari, dan mampu menghasilkan listrik sekitar 400 kilowatt.
Produksi listrik ditargetkan minimal dapat mencukupi kebutuhan internal peralatan PLTSa. "Emisi gas buang yang dihasilkan juga telah ditetapkan memenuhi baku mutu emisi dalam Permen LHK (Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan) Nomor 70 Tahun 2016," ucapnya.
Dengan desain seperti itu, Rudi menambahkan, PLTSa Bantargebang dapat digunakan sebagai pusat studi sekaligus wisata edukasi pengolahan sampah. BPPT berharap PLTSa dapat menjadi percontohan serta pilihan teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan guna menyelesaikan permasalahan sampah kota-kota besar di Tanah Air.
Sejauh ini, proses pengolahan sampah di TPST Bantargebang menggunakan sistem landfill atau penimbunan. Teknologi yang masih tradisional ini memerlukan waktu proses yang lama, lahan yang luas, dan berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan, misalnya air lindi dan emisi gas berbahaya.
Uji coba proyek listrik sampah di TPST Bantargebang bukan hanya kali ini. Beberapa tahun lalu juga dikerjasamakan dengan PT Godang Tua Jaya. Namun proyek tersebut dinyatakan rugi pada 2014 karena produksi listriknya hanya 6 megawatt (MW) dengan pendapatan kurang dari Rp 10 miliar.
Direktur Utama PT Godang Tua Jaya Rekson Sitorus—operator TPST Bantargebang saat itu—mengatakan pembangkit listrik dengan cara membakar gas metana sampah menggunakan engine tak mampu memberikan keuntungan besar. "Lebih besar modalnya ketimbang hasilnya," kata Rexon, 12 September 2014.
Padahal proyek listrik sampah di Bantargebang telah berjalan enam tahun dengan target produksi listrik seluruhnya 26 MW yang dijual ke Perusahaan Listrik Negara. Selama enam tahun berjalan, TPST Bantargebang telah memasang dua gas engine, fuel skid, flare stack, dan trafo. Masing-masing engine menghasilkan listrik 3,2 MW dan 3,4 MW.