TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menelusuri keterlibatan Hasto Kristiyanto dalam perkara suap Harun Masiku. KPK memeriksa Hasto di Gedung Merah Putih pada Senin, 10 Juni 2024. Penyidik juga menyita ponsel dan catatan agenda Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan itu untuk barang bukti.
Ketua Tim Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan, penyitaan ponsel milik Hasto adalah kewenangan penyidik dalam rangka mencari bukti-bukti tindak pidana korupsi. "Penyitaan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan disertai dengan surat perintah penyitaan," ucap dia.
Kasus suap yang menyeret-nyeret Hasto ini terjadi pada November 2019. Ketika itu anggota legislatif terpilih dari daerah pemilihan Sumatera Selatan I, Nazarudin Kiemas, meninggal beberapa pekan sebelum pemilihan umum 2019. Harun berminat untuk menggantikan posisi Nazarudin. Namun keinginan itu terganjal oleh aturan.
Diduga, demi duduk di parlemen, Harus Masiku melakukan segala cara termasuk menyuap Wahyu Setiawan, yang saat itu menjadi Komisioner Komisi Pemilihan Umum. Dalam laporan Majalah Tempo edisi 11 Januari 2020 disebutkan, uang suap kepada Wahyu diberikan melalui Saeful Bahri yang disebut-sebut sebagai orang dekat Hasto Kristiyanto. Hasto membantah kabar bahwa Saeful adalah salah satu anggota stafnya.
Dalam laporan Majalah Tempo berjudul “Di Bawah Lindungan Tirtayasa” itu KPK disebut urung menangkap Hasto meski telah memiliki bukti-bukti keterlibatan Politikus PDI-P tersebut. Penyidik KPK juga gagal menggeledah kantor PDI-P di Jalan Diponegoro, Nomor 58, Jakarta Pusat, pada Kamis, 9 Januari 2020 karena dihalang-halangi petugas keamanan partai.
Pelaksana tugas juru bicara KPK kala itu, Ali Fikri, mengatakan mereka gagal memasang garis pengaman di kantor PDI-P. Satuan pengamanan PDI-P beralasan pemasangan garis pengaman ini membutuhkan persetujuan partai. Karena izin dari pejabat partai tak kunjung turun, petugas KPK pun balik kanan dengan tangan kosong.
Hasto membenarkan ihwal satuan pengamanan partai melarang penyelidik KPK memasang garis pengaman. Menurut dia, surat penggeledahan merupakan tahap krusial dalam penegakan hukum. “Wajar kepala sekretariat kami menanyakan tentang surat,” kata Hasto seperti dikutip Majalah Tempo edisi 10 Januari 2020.
Pendapat berbeda datang dari Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar. Dia mengatakan petugas KPK sudah dilengkapi surat tugas saat hendak menggeledah kantor PDIP. “Surat tugasnya lengkap, tapi sekuriti (Dewan Pimpinan Pusat PDIP) harus pamit ke atasannya,” kata Lili pada Kamis, 9 Januari 20240.
Uang Mengalir dari Harun ke Wahyu Setiawan
Harun yang juga calon legislatif dari PDI-P asal daerah pemilihan Sumatera Selatan I pada pemilihan umum 2019 nekat ingin lolos ke parlemen hanya memperoleh suara di urutan kelima. Ketika itu, PDI-P ingin menggantikan Nazarudin Kiemas, calon legislator peraih suara terbanyak, yang meninggal tiga pekan sebelum pencoblosan, dengan Harun. Tapi sesuai aturan, KPU menetapkan Rizky Aprilia, peraih suara terbanyak kedua, sebagai calon anggota DPR.
Bekas Komisioner Komisi Pemilihan Umum atau KPU Wahyu Setiawan ketika itu disebut diminta untuk meloloskan Harun ke parlemen dengan permintaan sejumlah uang. Wahyu disebut meminta uang Rp 50 juta kepada orang kepercayaannya di PDIP Agustiani Tio Fridelina. Uang ini bagian dari suap untuk Wahyu yang dititipkan Saeful Bahri kepada Agustiani pada 26 Desember 2019. Saeful menyerahkan Rp 400 juta dalam bentuk dolar Singapura. Ia juga memberikan Rp 50 juta untuk Agustiani.
Sumber fulus itu ternyata dari Harun. Ia menyerahkan sejumlah duit itu kepada anggota staf kantor PDIP, Riri, di kantor Hasto di Sutan Syahrir 12A. Duit kemudian berpindah tangan hingga ke Saeful. Setelah menerima duit Rp 850 juta itu, Saeful disebut melapor kepada Hasto.
Wakil Ketua KPK saat itu, Lili Pintauli Siregar, mengatakan setelah dipotong untuk biaya kesekretariatan, uang di tangan Saeful tinggal Rp 450 juta yang kemudian diteruskan kepada Agustiani.
Masih dalam laporan Majalah Tempo, sesungguhnya ini pembayaran kedua kepada Wahyu. Pada 16 Desember, Hasto diduga memberikan Rp 400 juta kepada Saeful lewat Donny Tri Istiqomah. Keesokan harinya, Saeful menukarkan sekitar Rp 200 juta menjadi Sin$ 20 ribu, lalu diberikan kepada Agustiani Tio Fridelina di Plaza Indonesia, Jakarta Pusat. Sorenya, Wahyu hanya mengambil Sin$ 15 ribu dari Agustiani saat mereka bertemu di Pejaten Village. Setelah diperiksa KPK, Saeful membenarkan bahwa sumber duit itu dari Hasto. “Iya, iya,” kata Saeful.
Dalam perkara ini akhirnya mengantarkan Wahyu dan politikus PDIP Agustiani Tio Fridelina ke balik jeruji besi atas perkara suap-menyuap ini. Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menjatuhkan vonis Wahyu 6 tahun penjara dan pidana denda Rp 150 juta, sedangkan vonis untuk Agustiani 4 tahun penjara dan denda Rp 150 juta.