TEMPO.CO, Jakarta - Kriminolog Universitas Indonesia, Erni Rahmawati, memberikan sejumlah perspektif atas kasus Andi Andoyo, pengidap skizofrenia paranoid yang divonis 16 tahun penjara karena menikam wanita di Central Park Mall, Jakarta Barat. Menurut dia, ada lima hal yang menjadi permasalahan dan perlu dipikirkan lebih dalam kasus ini.
“Pertama, masalah skizofrenia sebagai disorder dan Andi sebagai pengidapnya,” ujar Erni ketika dihubungi, Ahad, 14 Juli 2024. Dia menyebut, hal ini berkaitan dengan kondisi literasi emosi dan pemahaman psikologis orang Indonesia yang sangat terbatas, yang perlu diperdalam dan diperluas.
Kedua, permasalahan penghukuman di Indonesia yang terbatas. Ketiga, kondisi hakim dan tuntutan yang dikenakan kepadanya dalam penjatuhan hukuman. Erni mengaku paham dengan kebingungan hakim dalam kedua poin ini.
“Karena, bisa jadi ia melihat bahwa pembunuhan ini dilakukan secara sadis, dan memungkinkan bagi si pelaku ini untuk melakukan hal itu lagi. Kalau hakim membebaskan orang ini, hakim juga bingung ini orang mau diapain?” kata dia.
Artinya, kata Erni, jika dibebaskan dan lepas dari pengawasan negara sepenuhnya, pelaku bisa berbahaya bagi dirinya dan orang lain. “Harusnya, kita punya jenis penghukuman yang sifatnya rehabilitatif, agar pelaku semacam ini gak berkeliaran tanpa pengawasan atau perawatan,” tuturnya.
Kemudian, hal keempat yang perlu didalami adalah pandangan hukum di Indonesia terhadap orang dengan posisi hakim. Terakhir, atau kelima, adalah sanksi terhadap hakim yang dianggap melakukan pelanggaran.
Menurut dia, di Indonesia, hakim itu sudah dianggap Tuhan. Padahal, banyak kasus ditemukan, di mana hakim melakukan apa yang Erni sebut sebagai ‘kesalahan proses peradilan pidana’. Artinya, walaupun hakim tahu bahwa pelaku tidak bersalah secara faktual atau aktual, dia tetap menghukum si korban salah tangkap itu.
“Kembali ke kasus ini, hakim dihadapkan pada kondisi yang rentan. Kalau dia bebaskan, terus ni orang mau kemana? Apakah akan direhabilitasi? Gimana orang tuanya? Apakah anaknya akan dipikirkan untuk diobati dan diawasi? Apakah mereka punya pengetahuan itu?” ucap Erni.
Kejadian ini, kata dia, merupakan salah satu bukti bahwa Andi yang mengidap skizofrenia luput dari pengawasan. Oleh karena itu, Erni mengatakan harus ada fasilitas negara yang memberikan penghukuman rehabilitatif. “Untuk mengamankan orang banyak, for the greater good, hakim harus menempatkan pelaku dalam fasilitas yang diawasi oleh negara, biayanya dibayar oleh negara, agar dia tidak berkeliaran kemana-mana dalam kondisi yang berbahaya.”
Selain itu, perlu ada sistem pencegahan kejahatan yang lebih canggih dan segera. Dia juga menyebut, pemahaman psikologis masyarakat harus diperbaiki.
Teranyar, Andi Andoyo sudah mengajukan banding atas putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat ke Mahkamah Agung pada Jumat, 12 Juli 2024. Kuasa Hukum Andi, Parluhutan Simanjuntak, mengatakan Andi harusnya dirawat di Rumah Sakit Jiwa selama satu tahun sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Pilihan Editor: Pemuda Skizofrenia Divonis 16 Tahun Bui, Kuasa Hukum Laporkan Hakim PN Jakbar ke MA dan KY