TEMPO.CO, Jakarta - Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menilai ada nama-nama bermasalah dalam daftar 40 calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (capim KPK) yang lolos tes tulis.
"Nama-nama dari kontingen polisi, jaksa, hakim, dan juga pimpinan KPK yang mendaftar lagi, ini kan ditemukan banyak sekali dugaan-dugaan pelanggaran," kata Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI Julius Ibrani kepada Tempo, Jumat, 9 Agustus 2024.
Dia mencontohkan nama Nurul Ghufron, Wakil Ketua KPK yang kembali mendaftar sebagai calon pimpinan lembaga antirasuah itu. Julius menyebut Ghufron telah dua kali mengajukan permohonan uji materiil Undang-Undang atau UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK ke Mahkamah Konstitusi alias MK.
Menurut catatan Tempo, Ghufron memang pernah mengajukan permohonan uji materiil terhadap UU KPK. Kepada hakim konstitusi, ia meminta perubahan batas usia capim KPK dinaikkan. Dari paling rendah 40 tahun menjadi minimal 50 tahun. Ghufron juga meminta masa jabatan pimpinan KPK diperpanjang dari 4 tahun menjadi 5 tahun. Hasilnya, MK mengabulkan permohonannya.
"Ghufron dilaporkan soal dugaan pelanggaran etik, lalu dia melakukan gugatan ke PTUN, lagi ditunda pemeriksaan etiknya," ucap Julius.
Ghufron saat ini menghadapi persoalan dugaan pelanggaran etik dalam mutasi pegawai Kementerian Pertanian (Kementan). Dewan pengawas (Dewas) KPK telah memeriksa Ghufron, dan tinggal membacakan putusan. Namun, pimpinan KPK ini menggugat dewan pengawas itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) agar menunda pemeriksaannya tersebut. Akhirnya Dewas KPK menunda pembacaan putusan itu.
Julius juga menyebut ada nama perwakilan Kepolisian berpangkat jenderal yang bermasalah. Kendati demikian, dia tak menyebut secara gamblang nama tersebut.
"Banyak kasus yang meluap, meledak pada saat dia memimpin Polda. Dia juga terlibat dalam dugaan proses pemeriksaan di KPK ketika dulu," ujarnya.
Dari perwakilan Kejaksaan, Julius mencontohkan nama Johanis Tanak. Johanis saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua KPK, sama seperti Ghufron. Namun, dia memiliki latar belakang seorang jaksa. Johanis tercatat pernah mengemban jabatan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah pada 2014.
"Ditemukan dugaan pelanggaran ketika memilih langsung bicara soal pekerjaan izin pertambangan dengan ESDM. Lalu, Johanis Tanak dilaporkan etik," ujar Julius.
Adapun yang dia maksud adalah dugaan pelanggaran etik karena riwayat pesan atau chat Johanis Tanak dengan pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Muhammad Idris Froyoto Sihite. Percakapan itu diduga terjadi saat proses penyelidikan perkara dugaan korupsi di kementerian itu. Namun, Dewas KPK memutuskan Johanis tidak terbukti melanggar etik.
Sedangkan capim KPK dari unsur hakim, Julius menyoroti Albertus Usada yang menjadi majelis hakim dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi benih lobster. "Memutus bersalah Menteri Kelautan dan Perikanan ketika itu Eddy Prabowo, lalu menjatuhkan vonis yang sangat ringan," ucap Julius.
Menurut Julius, panitia seleksi capim KPK dan dewas KPK atau Pansel KPK harusnya tidak mentolerir nama-nama tersebut. "Nah, ini tentu menjadi ancaman pemberantasan korupsi ke depan kalau nama-nama ini masih ada dan terus berlanjut lolos sampai babak selanjutnya," ujar dia.
Pilihan Editor: Top 3 Hukum: Respons Kemenag Soal Menag Yaqut Dilaporkan ke KPK Kasus Kuota Haji, Muncul 2 Nama Baru Kasus Vina