TEMPO.CO, Jakarta - Polda Metro Jaya mengklaim akan menindaklanjuti laporan soal dugaan intimidasi aparat terhadap jurnalis saat peliputan aksi demonstrasi di depan Gedung DPR pada 22 Agustus 2024. Kabid Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi, menyatakan pihaknya siap mendalami setiap laporan yang masuk dan memastikan proses hukum berjalan sesuai prosedur.
"Apabila itu dilaporkan, itu akan dilakukan pendalaman dan diproses," ujar Ade Ary kepada awak media saat ditemui di Polda Metro Jaya, Jumat, 23 Agustus 2024. Dia menjelaskan pengaduan mengenai dugaan pidana, penyalahgunaan wewenang, atau pelanggaran kode etik oleh anggota kepolisian dapat disampaikan ke Propam.
"Polda Metro Jaya membuka pengaduan di SPKT, apabila ada dugaan pidana, penyalahgunaan wewenang, kode etik, itu bisa dilaporkan ke Propam," kata dia.
Ade Ary menegaskan Polda Metro Jaya berkomitmen untuk melakukan tindakan kepolisian secara proporsional dan sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP). Menurut dia, setiap laporan yang diterima akan ditindaklanjuti dengan serius sesuai instruksi Kapolda Metro Jaya.
Tanggapan ini muncul setelah insiden intimidasi terhadap sejumlah jurnalis terjadi saat meliput aksi unjuk rasa #KawalPutusanMK dan menolak RUU Pilkada di depan Gedung DPR RI, Kamis lalu. Dalam aksi tersebut, beberapa jurnalis, termasuk dua dari Tempo, menjadi korban tindakan represif yang dilakukan aparat.
Dua jurnalis tersebut, Y dan H, keduanya berusia 24 tahun, sempat dilarikan ke Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo untuk mendapatkan pertolongan. Jurnalis Tempo berinisial Y, terkena gas air mata yang ditembakkan aparat kepolisian saat meliput aksi tersebut. Redaktur Tempo, Linda Trianita, mengatakan Y menghubungi redaktur lewat grup WhatsApp sekitar pukul 17.00 WIB dan mengabarkan jika ia terkena tembakan gas air mata. Y juga terinjak massa yang berhamburan menyelamatkan diri.
Y mencoba mengevakuasi dirinya dengan naik ke atas Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) di depan Gedung DPR MPR. Namun, saat berada di atas JPO ada gas air mata yang diduga nyasar dan mengarah ke atas jembatan. "Y mengalami sesak nafas, enggak bisa jalan, sesak. Untungnya ada yang menolong menggendong," ujar Linda, Kamis, 22 Agustus 2024.
Massa yang melihat kondisi Y membantunya dengan memberikan oksigen portable sebelum ia dibawa ke rumah sakit. Di RSAL Dr. Mintohardjo, Y dirawat dan baru diizinkan pulang sekitar pukul 22.00 WIB.
Kekerasan terhadap jurnalis Tempo lainnya, berinisial H, berawal saat dia sedang merekam diduga aparat TNI dan Polri yang menganiaya seorang pendemo yang terkulai. Salah seorang aparat menonjok pipi kanan H. Bagian kepala H juga dipukul. Tak sampai di situ. Seorang tentara juga menendang bagian belakang H saat akan digiring ke pos keamanan. “Sewaktu digiring ke pos ada yang menendang bagian belakang saya,” ujar H.
Setibanya di pos, seorang polisi dari biro Provos menginterogasi H. Provos tersebut menanyakan asal H. H kembali menegaskan bahwa dia seorang jurnalis Tempo. Provos tersebut kemudian meminta H menghapus rekaman penganiayaan sebelum melepaskannya.
Para jurnalis yang melaporkan insiden ini mengaku dipaksa menghapus hasil liputan mereka, bahkan ada yang mengalami kekerasan fisik. Dewan Pers mencatat 11 jurnalis jadi korban aparat yang represif dalam mengamankan aksi unjuk rasa tersebut. Insiden ini menambah panjang daftar kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi selama peliputan aksi demonstrasi di Indonesia.
Eka Yudha dan Jihan Ristiyanti berkontribusi dalam artikel ini.
Pilihan Editor: Disdik DKI Jakarta Catat Ada 92 Siswa Ditahan Polisi karena Ikut Demo Tolak RUU Pilkada