TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto, mengkritik kekerasan yang dilakukan polisi saat menghadapi demonstran. Seperti demonstran Kawal Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) mengalami kekerasan oleh polisi ketika ditangkap.
Bambang menilai fenomena yang terjadi memperlihatkan mindset atau pola pikir melayani masyarakat belum ada. "Melindungi dan mengayomi masyarakat juga semakin menjauh digantikan melindungi dan mengayomi kepentingan, baik penguasa atau pemberi manfaat pragmatis," katanya saat dihubungi, Selasa, 27 Agustus 2024.
Demonstrasi besar-besaran di berbagai kota mulai terjadi pada Kamis, 22 Agustus 2024. Massa memprotes karena DPR RI tidak akan menggunakan putusan Mahkamah Konstitusi untuk syarat usia minimum pencalonan kepala daerah.
DPR RI saat itu akan menggunakan putusan Mahkamah Agung yang diduga akan memuluskan pencalonan kepala daerah bagi Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo. Sedangkan usia Kaesang tidak sesuai dengan syarat dalam hasil judicial review Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, yaitu 30 tahun.
Berbagai video di media sosial memperlihatkan aparat kepolisian menangkap sejumlah orang dengan kekerasan, seperti memukul dan menendang. Bahkan kejadian terakhir saat demo di Kota Semarang kemarin, memperlihatkan warga sipil sesak napas terkena gas air mata ketika pembubaran demonstrasi.
Bambang Rukminto menyebut ketika masyarakat unjuk rasa pun semestinya polisi melihat sebagai kelompok yang perlu dilayani, dan bukan dihadapi. Selain itu melindungi massa agar terhindar dari perilaku anarkis.
Tapi sayangnya, upaya menegakkan peraturan juga nyaris tidak ada. "Dampaknya kekerasan oleh oknum polisi dianggap hal yang lumrah, wajar oleh institusi meskipun itu tentu tak bisa dibenarkan," ujar Bambang.
Meski kekerasan oleh polisi terekam jelas saat itu, namun pertanggungjawaban terhadap Polri seperti tidak ada. Sanksi bagi anggota Polri yang melakukan kekerasan saat demo beberapa hari terakhir juga masih belum jelas.
"Kalau 135 nyawa korban Tragedi Kanjuruhan saja tak bisa dimintakan pertanggungjawaban pada institusi Polri, apalagi korban aksi unjuk rasa," tutur Bambang Rukminto.
Bagi masyarakat sipil yang merasa mengalami kekerasan oleh polisi dapat melapor ke Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) di masing-masing polda. Mekanisme itu yang sejauh ini dapat ditempuh untuk melaporkan dugaan pelanggaran kode etik profesi Polri.
Pilihan Editor: Polisi Sebut 32 Pelajar dan Mahasiswa Demonstran di Semarang Masih Jalani Pemeriksaan