TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola menanggapi soal Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menolak seluruh calon hakim agung usulan Komisi Yudisial (KY).
"Menurut kami, praktik seleksi calon hakim agung yang selama ini dipertontonkan oleh DPR sesungguhnya amat berpotensi mengintervensi kekuasaan kehakiman," kata Alvin kepada Tempo lewat aplikasi perpesanan, Jumat, 30 Agustus 2024.
Ia menilai pola seleksi ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 27/PUU-XI/2013. Dalam putusan itu, MK menyatakan kata “dipilih” dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “disetujui”.
"Seharusnya DPR tak lagi berfungsi menyelenggarakan FPT (fit and proper test) karena proses itu sudah selesai dilakukan oleh KY," beber Alvin.
Menurutnya DPR hanya bertugas menyetujui atau tidak menyetujui usul KY hasil putusan MK. "Tentu ini penting agar menjamin jangan sampai standar-standar politik ikut diletakkan menjadi standar memilih hakim agung," kata Alvin.
Lebih jauh, ia menilai penolakan Komisi III DPR akan mengakibatkan impikasi serius yaitu adanya kekosongan hukum. "Karena kebutuhan hakim agung di MA akibat membludaknya jumlah perkara di tingkat kasasi," tutur Alvin.
Sebelumnya, komisi hukum DPR menolak sembilan calon hakim agung dan tiga hakim ad hoc hak asasi manusia (HAM) usulan KY untuk menjalankan fit and proper test atau uji kelayakan dan kepatutan. Ketua Komisi III DPR, Bambang Wuryanto, mengatakan keputusan ini berdasarkan pandangan fraksi-fraksi.
"Maka, Komisi III DPR RI tidak memberikan persetujuan secara keseluruhan terhadap calon hakim agung dan calon hakim ad hoc HAM pada Mahkamah Agung tahun 2024 yang diajukan oleh Komisi Yudisial kepada DPR RI dengan nomor surat 1653/PIM/RH.01.07/07/2024," kata Bambang dalam rapat pengambilan keputusan di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta Pusat pada Rabu, 28 Agustus 2024.
Keputusan ini untuk menindaklanjuti dua kandidat calon hakim agung, yaitu Hari Sih Advianto dan Tri Hidayat Wahyudi. Keduanya tercatat belum menjadi hakim selama 20 tahun sesuai aturan Undang-Undang tentang Mahkamah Agung (UU MA).
Hari baru delapan tahun menjadi hakim pajak, ia dilantik sejak 2016. Sedangkan Tri Hidayat tercatat 14 tahun menjadi hakim pajak sejak 2010.
Sementara itu Juru Bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata, mengatakan keputusan meloloskan dua orang itu sebagai calon hakim agung kamar tata usaha negara (TUN) pajak merupakan keputusan pleno.
"Untuk melakukan kelonggaran persyaratan administrasi atau diskresi berdasarkan Pasal 22 UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan," ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis, 29 Agustus 2024.
Anggota Komisioner KY ini menjelaskan, sesuai beleid tersebut, diskresi bertujuan untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu untuk kemanfaatan dan kepentingan umum.
Selain itu, Mukti menyebut hakim pajak merupakan jalur hakim karir yang berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 2009 harus berpengalaman paling sedikit 20 tahun menjadi hakim. Namun, pengadilan pajak baru dibentuk pada 2002 berdasarkan UU Noor14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dengan syarat usia minimal menjadi hakim pajak adalah 45 tahun.
"Dengan demikian, tidak ada hakim pajak berpengalaman 20 tahun menjadi hakim," tutur Mukti. "Menurut data KY, hakim paling senior di Pengadilan Pajak hanya mempunyai pengalaman 15 tahun sebagai hakim."
Ia juga berujar kebutuhan MA akan hakim agung tata usaha negara khusus pajak sangat mendesak. Sebab, ada 7.000 lebih tumpukan perkara dengan hanya satu orang hakim agung TUN khusus pajak. Selain itu, pendaftar calon hakim agung kamar TUN khusus pajak juga terbatas.
Pilihan Editor: DPR Tolak Semua Calon Hakim Agung Usulan KY, Begini Kata Amnesty International Indonesia