TEMPO.CO, Malang - Kepolisian Resor Malang menetapkan 10 anggota perguruan silat Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) sebagai tersangka pengeroyokan yang mengakibatkan tewasnya seorang remaja berumur 17 tahun bernama Alfin Syafiq Ananta.
Wakil Kepala Polres Malang Komisaris Imam Mustolih mengatakan, jumlah tersangka bertambah berdasarkan hasil pemeriksaan delapan orang pelaku yang ditangkap lebih dulu. Dari 10 tersangka, enam masih anak-anak, yakni PIAH dan RH, keduanya berumur 15 tahun; VM, 16 tahun; serta MAS, RAF, dan RFP, ketiganya berusia 17 tahun.
Empat tersangka pria dewasa bernama Achmad Ragil (Ragil), 19 tahun; serta Ahmad Erfendi alias Somad, 20 tahun; dan Muhammad Andika Yudhistira (Andika), 19 tahun. Ketiga orang ini warga Desa Ngenep, Karangploso. Seorang tersangka lagi bernama Imam Cahyo Saputro (Cahyo), 25 tahun, warga Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu.
“Penyidik terus melakukan pendalaman dan tidak menutup kemungkinan jumlah tersangka bisa bertambah. Kami tegas dan akan kami sidik secara tuntas,” kata Imam dalam jumpa pers, Jumat, 13 September 2024.
Menurut Imam, polisi Polisi juga memperoleh fakta tentang dua tempat kejadian perkara (TKP) penganiayaan terhadap Alfin, remaja yang berdomisili di Desa Kepuharjo, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur.
Remaja kelas dua SMK PGRI 3 Kota Malang ini pertama kali dianiaya di lapangan tempat latihan PSHT, Jalan Raya Sumbernyolo, Dusun Mojosari Glugur, Desa Ngenep, Karangploso, pada 4 September 2024, sekitar pukul 22.15 WIB. Alfin dikeroyok lima orang, yakni Ragil dan Somad, serta VM, MAS, dan RAF.
Alfin kembali dikeroyok di dekat petilasan atau punden Petren Ngijo (Mbah Singojoyo), Dusun Kedawung, Desa Ngijo, Karangploso, pada Jumat, 6 September 2024, sekitar pukul 20.30 WIB. Di TKP kedua ini Alfin dikeroyok tujuh orang: Cahyo, Andika, Ragil, RH, VM, RAF, dan RFP. Peristiwa pengeroyokan di TKP kedua terekam kamera pengawas atau CCTV kepunyaan warga.
“Dari 10 tersangka, VM dan RAF terlibat mengeroyok Alfin di dua TKP,” ujar Imam.
Kepala Satreskrim AKP Muchammad Nur menambahkan, peristiwa pengeroyokan bermula saat korban mengunggah sebuah foto mengenakan kaus beratribut PSHT sebagai status WhatsApp pada Agustus 2024. Tak lama kemudian, MAS menghubungi Alfin untuk mengonfirmasi maksud dan tujuannya membuat status Whatsapp semacam itu karena Alfin bukan warga PSHT. Keduanya janjian bertemu.
Saat berjumpa, MAS meminta Alfin untuk membuat video klarifikasi tentang pembuatan status WhatsApp. Alfin mengaku bukan anggota PSHT, tapi menyukai PSHT dan ingin menjadi warganya. Alfin juga meminta maaf.
Selanjutnya, pada 4 September 2024, MAS mengajak Alfin ke TKP pertama dengan alasan diajak latihan sebagai syarat bisa menjadi anggota PSHT. Ternyata, Alfin malah dihajar lima tersangka.
Berselang dua hari, Alfin diajak bertemu lagi oleh para pelaku di TKP kedua. Di TKP kedua ada tujuh pelaku. Alfin lebih dulu digebuki seorang pelaku dengan sandal. Ketujuh orang ini bergantian memukul dan menendang Alfin sampai terkapar tak sadarkan diri.
Muchammad Nur mengatakan, pengeroyokan di TKP kedua terjadi karena para pelaku masih tidak puas setelah menganiaya korban di TKP pertama. Selama dikeroyok di TKP pertama dan kedua, Alfin sama sekali tidak melawan.
Orang tua korban tidak mengetahui peristiwa pengeroyokan di TKP pertama. Polisi menduga, korban takut melapor ke orangtuanya atau juga karena korban takut orang tuanya ikut marah.
“Mungkin ya, namanya anak laki-laki kan biasa enggak lapor orangtua kalau ada apa-apa. Tapi peristiwa di TKP kedua memang lebih parah karena seorang pelaku pakai batu paving untuk memukul kepala korban. Makanya, bapaknya korban (Nanang Kuswanto) langsung lapor pada kami setelah lihat kondisi anaknya di rumah sakit,” kata Nur.
Akibat dikeroyok di TKP kedua, Alfin sempat dibawa ke Klinik Delima, Jalan Raya Ngijo, Karangploso. Karena kondisinya terus menurun dan masih tak sadarkan diri, Alfin dibawa ke Rumah Sakit Prasetya Husada, Desa Ngijo, Karangploso, hingga akhirnya dirujuk ke Rumah Sakit Tentara dr Soepraoen yang berlokasi di Jalan Slamet Supriadi, Kelurahan Sukun, Kecamatan Sukun, Kota Malang.
Setelah 6 hari koma dan dirawat di rumah sakit, Alfin meninggal dunia pada Kamis pagi, 12 September. Penyebab kematian diduga karena pendarahan otak (hematoma intrakranial) disertai kerusakan sel otak bagian temporo-parietal kiri dan memar di paru.
Akibat perbuatannya, semua tersangka dikenai Pasal 80 ayat (3) juncto Pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan atau Pasal 170 ayat (2) ke-3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda maksimal Rp 3 miliar.
Pilihan Editor: Kapolda Jatim Minta PSHT Berbenah: Jangan Makin Dibenci masyarakat