TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berharap 10 calon pimpinan (Capim) KPK adalah pilihan terbaik dari yang terbaik. Sepuluh nama itu telah diserahkan kepada Presiden Joko Widodo pada 1 Oktober 2024, dan DPR akan memilih 5 orang pimpinan KPK.
Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto mengatakan, harapan lembaga ini sama persis dengan harapan masyarakat Indonesia. " Kita semua menginginkan sosok-sosok nakhoda yang kredibel, yang memiliki integritas dan dapat membawa kapal lembaga ini mengarungi gelombang," kata Tessa dalam jumpa pers di Gedung KPK, Selasa 1 Oktober 2024. “Gelombang perlawanan koruptor, gelombang pemberantasan korupsi, dan itu tidak mudah.”
Tessa mengatakan, KPK berharap setelah nama 10 capim KPK ini diserahkan, para wakil rakyat di Komisi III dapat memilih yang terbaik. “Kita doakan agar didapatkan Pimpinan KPK berikutnya yang terbaik,” katanya.
Ada Proses Politis
Ketua IM57+ Institute M Praswad Nugraha menyebut 10 nama capim KPK yang diusulkan itu adalah pilihan presiden, padahal berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat 9 UU KPK, pengusul seharusnya adalah KPK. "Jangan sampai pengumuman pansel ke publik menjadi distorsi sehingga seakan Presiden tidak bertanggungjawab atas pilihan ini," kata Praswad dalam keterangan tertulis yang di terima Tempo, Rabu 2 Oktober 2024..
Menurut eks penyidik KPK itu, dari 10 nama tersebut, masih ada calon yang problem etiknya belum tuntas. "Bahkan terbukti gagal membawa KPK pada kinerja yang baik,” katanya.
Dia mengatakan, proses selanjutnya adalah proses politik, yang ditentukan oleh DPR. Harus ada pencegahan potensi proses transaksional yang bermuara pada naik atau tidaknya perkara. Jangan sampai pilihan jatuh pada pimpinan bermasalah sehingga menjadi sandera politik ketika menjabat. DPR harus menunjukkan komitmen politik dalam pemberantasan korupsi.
“Tanpa adanya sikap tersebut, maka perbaikan KPK hanya menjadi slogan politik tanpa isi perubahan ke arah yang lebih baik,” tuturnya.
Dia mengingatkan, konflik kepentingan menjadi isu serius pada KPK periode sebelumnya. Untuk itu, upaya mencegahnya harus dilakukan dengan serius, termasuk seluruh kandidat dari unsur penegak hukum harus berhenti sebelum dilantik.
Double loyalty akan menjadi persoalan yang membuat mudahnya intervensi penanganan kasus ketika berhubungan dengan kasus hukum yang berasal dari instansi asalnya serta kasus yang dititipkan melalui institusi asalnya. “Monoloyalitas adalah harga mati untuk menjaga indepedensi KPK,” kata Praswad.
Pilihan Editor: Eks Ketua DPD Gerindra Muhaimin Syarif Kuasai Puluhan Proyek Pemerintah Provinsi Maluku Utara