TEMPO.CO, Jakarta - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat hari ini kembali menggelar sidang perkara korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah pada 2015–2022.
Sidang kali ini, jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Agung (Kejagung) menghadirkan lima saksi untuk terdakwa Helena Lim, eks Direktur Utama PT Timah Tbk, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani; eks Direktur Keuangan PT Timah Tbk, Emil Ermindra; dan Direktur PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), MB. Gunawan.
Salah satu saksi perkara korupsi timah ini, Riki Fernandez Simanjuntak selaku Wakil Kepala P2P Perencanaan dan Pengendalian Produksi PT Timah Tbk, mengungkap banyaknya penambang timah ilegal menjadi alasan direksi membuat program sisa hasil produksi (SHP) melalui instruksi 030.
"Jadi keluarlah program SHP, borongan pekerjaan SHP pada 2018," kata Riki di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Rabu, 2 Oktober 2024.
Dia menjelaskan bahwa program SHP diperuntukkan pada kegiatan penambang ilegal lantaran tidak memiliki batasan yang jelas dengan pola maupun pengolahan timah. Akibat kegiatan penambangan ilegal ini, kata Riki, banyak sisa sumber cadangan timah di lokasi penambangannya. Sehingga kegiatan inilah yang dijadikan dasar untuk dikumpulkan kembali sisa-sisa hasil pengolahan untuk dikelola PT Timah.
"Cara kerja SHP, di tahun 2018 itu, jadi dari Unit Produksi memiliki mekanisme dari SOP tersebut ada mekanisme untuk pembayaran langsung ke kegiatan borongan pekerjaan," ujarnya.
Riki pun menjelaskan SHP atau kegiatan borongan pekerjaan fokus pada kegiatan edisional atau penambahan bukan kegiatan inti penambangan. "Kegiatan edisional yang disebut sebagai borongan pekerjaan sehingga itu bisa langsung kayak dikaryakan dengan perorangan, dibayar tunai langsung dengan perorangan," ucap dia.
Dia pun menyebut pada 2018, PT Timah memiliki data pembayaran perorangan dari program SHP.
Sebelumnya, Kepala Divisi Perencanaan Pengendalian Produksi PT Timah Tbk, Ridwan Suwandi, mengatakan instruksi Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP) dan Sisa Hasil Produksi (SHP) sukses menyokong produksi PT Timah. "Dari hasil produksi PT Timah yang bisa mencapai 80 persen atau sekitar 30 ribu ton bijih timah," kata dia.
Ia menjelaskan instruksi tersebut muncul setelah para direksi PT Timah memutuskan melanjutkan kerja sama dengan sejumlah perusahaan smelter swasta, termasuk PT RBT. "Waktu itu ada penawaran kerja sama dari PT RBT. Disampaikan oleh direksi, katanya, ini tolong dikaji soal kerja sama smelter," ujarya.
Suwandi menyebut PT Timah sudah tidak lagi melakukan penambangan sejak 2015. Penambangan justru dilakukan oleh para mitra dengan perjanjian kerja dan surat perintah kerja (SPK) atau penambang legal, serta para penambang ilegal.
Dia menyebut PT Timah menerima hasil pelimbang tambang ilegal. Alasannya sejak adanya kerja sama dengan smelter swasta, penambangan ilegal semakin masif. Penambangan ilegal dilakukan di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah. "Program SHP untuk mengumpulkan dari masyarakat pelimbang, instruksi itu diterbitkan oleh PT Timah," ucap dia.
Suwandi berujar perintah untuk penggunaan pelimbang tambang ilegal muncul dalam instruksi 059 tahun 2015, yang kemudian dilanjutkan dengan kajian legal. Setelah itu, barulah dibuat SOP 02. Poin intinya, kata dia, semua SHP yang ada dalam objek produksi perusahaan harus dikirim ke gudang PT Timah dengan pembayaran jasa.
Tidak hanya instruksi 059, direksi perusahaan pelat merah itu pun turut menerbitkan instruksi 030 dengan tujuan pengamanan aset PT Timah, yang isinya apabila masyarakat pelimbang tidak bersedia menjual bijih timah ke PT Timah, mereka harus keluar dari IUP.
Aturan itu dibuat lantaran masyarakat lebih suka menjual bijih timah ke kolektor karena menggunakan sistem ijon atau gadai. Sistem tersebut berjalan dengan pemberian modal di awal. Kegiatan seperti itu, Suwandi melanjutkan, terjadi wilayah tambang darat, yakni di Bangka dan Belitung.
Pilihan Editor: Kasus Pembubaran Diskusi di Kemang, Polda Metro Jaya Tetapkan Tersangka Ketiga