TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Kepala P2P Perencanaan dan Pengendalian Produksi PT Timah Tbk, Riki Fernandez Simanjuntak, mengungkapkan bahwa direksi mengetahui perihal kerja sama perusahan dengan para mitra dalam mengumpulkan timah dari penambang-penambang masyarakat atau penambang tanpa izin alias ilegal. Para mitra yang dimaksud merupakan pemegang izin usaha jasa pertambangan (IUJP). "Secara faktual terjadi. Kami laporkan ke Kepala Divisi (Kadiv) dan Kadiv yang menyampaikan itu ke direksi," kata Riki di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Jakarta Pusat, pada Rabu, 2 Oktober 2024.
Riki tidak menyangkal jika ada penambang ilegal yang melakukan kegiatan penambangan di wilayah izin usaha penambangan (IUP) PT Timah tanpa izin. Bahkan, mitra kerja sama PT Timah yang memegang IUJP pun turut mengumpulkan timah dari penambang masyarakat. "Pendulangan yang ada di belakang-belakang tambang mereka," ujarnya. Sehingga persentase penyumbang timah paling banyak berasal dari penambang ilegal daripada mitra kerja sama PT Timah.
Keterangan itu disampaikan Riki saat diperiksa sebagai saksi untuk terdakwa dugaan korupsi timah Helena Lim; eks Direktur Utama PT Timah Tbk (2016-2021) Mochtar Riza Pahlevi; eks Direktur Keuangan PT Timah Tbk (2017-2018), Emil Ermindra; dan Direktur PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), MB. Gunawan.
Dalam perkara ini, jaksa penuntut umum mendakwa Helena Lim, Mochtar Riza Pahlevi, Emil Ermindra, dan Gunawan ikut mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan, baik di kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan dalam wilayah IUP PT Timah. "Berupa kerugian ekologi, kerugian ekonomi lingkungan, dan pemulihan lingkungan," ujar ketua tim JPU Ardhito Murwadi.
Ketiganya juga didakwa ikut merugikan keuangan negara sebesar Rp 300 triliun. Angka tersebut berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada 28 Mei 2024.
Para terdakwa perkara korupsi timah itu dinilai melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 (primair) dan Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 (subsidair).