TEMPO.CO, Jakarta - Seusai kumandang azan asar, Sopiah, 65 tahun, menyapu rumahnya. Tiba-tiba, tetangganya berteriak-teriak memanggil namanya. "Sopiah, Sopiah, keluar, kebakaran," katanya mengulang teriakan itu saat kebakaran terjadi pada Senin, 23 Februari 2015.
Kebakaran menimpa 245 rumah di 13 RT di RW 01, Kelurahan Karang Anyar, Kecamatan Sawah Besar. Setidaknya 1.380 orang harus mengungsi di bawah jembatan rel Stasiun Sawah Besar, kantor polisi Karang Anyar, dan pinggir Jalan Lautze, Jakarta Pusat.
Tak percaya dengan teriakan itu, Sopiah bergegas keluar rumah. Betapa kagetnya dia saat menyaksikan api sudah membubung tinggi di rumah yang hanya berselisih tiga petak dari huniannya. "Pikiran langsung tertuju pada anak saya yang sakit stroke," ucapnya terbata-bata.
Sakit yang diderita sang anak, tutur Sopiah, membuatnya sulit berjalan. Padahal, dalam pikirnya, api tak lama lagi menyambar rumahnya. Tanpa pikir panjang, meski tubuhnya sudah renta, dia langsung memapah anaknya. "Awalnya, saya tak mampu menyangga berat badannya, tapi anak bungsu saya datang dan memapah bersama," kata perempuan yang tak lagi punya gigi ini.
Aksi heroik ini membuat Sopiah tak sempat menyelamatkan surat penting di lemari rumahnya. Kulkas, televisi, dan perabotan rumah juga hangus dilalap api. Tak sehelai pakaian pun yang berhasil dibawanya, hanya pakaian yang melekat di tubuhnya yang tersisa. "Syukurlah, ada bantuan pakaian bekas ini, tapi belum dipilah," warga RT 08 RW 01 ini menuturkan.
Kisah mirip Sopiah juga dialami Rohayah, 45 tahun. Warga RT 07 RW 01 ini harus menggendong putra semata wayangnya yang sedang sakit saat kobaran api makin membesar. Dia hanya bisa membawa satu tas selempang dan pakaian yang melekat di tubuhnya.
Bahkan situasi darurat pengungsian membuatnya tak nyaman. Sebabnya, bantuan sandang bekas layak pakai hanya untuk pakaian luar. "Belum ganti sejak dua hari lalu yang dalamnya," ujarnya, diikuti tawa berderai sambil menutup wajahnya dengan dua tangannya.
RAYMUNDUS RIKANG