Ada lima indikasi kekeliruan. Menurut audit tersebut, Gubernur Basuki terlalu mahal membeli tanah seluas 3,1 hektare itu karena ada tawaran PT Ciputra yang lebih murah Rp 191 miliar pada 2013. Ahok menyanggah dengan dengan bukti bahwa perbedaan waktu setahun membuat harga tanah di sana melonjak 200 persen.
BACA: 5 Poin Penting Audit Sumber Waras yang Harus Anda Tahu
BPK juga menuduh Basuki memakai patokan nilai jual objek pajak yang keliru. Pemerintah memakai NJOP Jalan Tomang Utara senilai Rp 20 juta, bukan Jalan Kyai Tapa di sisi Timur yang nilai pajaknya hanya Rp 7 juta. Ahok menyanggah bahwa penentuan NJOP oleh Kementerian Keuangan dan menjadi NJOP tanah tersebut sejak awal.
Dua lainnya bersifat adminsistratif. Ahok dinilai membeli tanah yang perjanjiannya masih dipegang PT Ciputra dan pembelian tanpa melalui kajian mendalam. “Perjanjian itu sudah gugur karena tak ada izin alih fungsi,” kata Ahok. “BPK harus membaca Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014 yang menyebutkan pembelian lahan di bawah lima hektare tak perlu kajian.”
Dan ternyata audit tersebut bukan tanpa tujuan. Efdinal diduga memakai audit tersebut untuk meluluskan niatnya menjual tanah seluas 9.618 meter persegi di tengah makam Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Ahok mendapat laporan niat Efdinal itu dari Kepala Inspektorat Lasro Marbun.
BACA: Audit Sumber Waras, Alasan Lain Ahok Copot Lasro Marbun
Selanjutnya: Syahdan, pada April lalu....