TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Selamatkan Pulau Pari meminta Kepolisian Resor Kepulauan Seribu menghentikan kriminalisasi terhadap nelayan Pulau Pari. Desakan ini dibuat setelah tiga nelayan Pulau Pari diputus bebas Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada pekan lalu.
Baca:
Tiga Nelayan Pulau Pari Divonis Bersalah Lakukan Pemerasan
Ketiga nelayan yang diputus bebas itu adalah Mustaghfirin alias Boby, Mastono alias Baok, dan Bahrudin alias Edo. Putusan bebas tersebut disampaikan melalui Putusan Nomor 242/PID.B/2018/PT.DKI tanggal 5 September 2018 dan Putusan Nomor 243/PID.B/2018/PT.DKI tanggal 5 September 2018.
Sebelumnya, pada November 2017, mereka bertiga divonis bersalah untuk tuduhan pungutan liar atau pemerasan terhadap wisatawan. Tuduhan dilaporkan di sela-sela konflik nelayan dengan pengembang yang mengklaim hampir seluruh tanah di pulau berpasir putih itu.
Vonis penjara selama enam bulan sebenarnya tak perlu dijalani karena sudah habis dipotong masa tahanan. Namun Boby dkk memutuskan banding. Alasannya, mereka sudah mengelola pantai secara swadaya sejak lama dan dakwaan pemerasan untuk kutipan sebesar Rp 5000 per pengunjung pantai dianggap tak berdasar.
Baca:
Nelayan Pulau Pari Dituntut Bersalah, LBH Cium Kejanggalan
“Koalisi juga mendesak kepada Pengadilan Negeri Jakarta Utara untuk membebaskan Sulaiman, mantan ketua RW di Pulau Pari yang akan menghadapi sidang putusan 6 November 2018 mendatang,” kata kuasa hukum Koalisi Selamatkan Pulau Pari, Nelson Nikodemus Simamora, Minggu 28 Oktober 2018.
Sulaiman Hanafi (kiri) Ketua RW 04 Kelurahan Pulau pari saat sidang di kantor Pengadilan Negeri, Jakarta Utara, 24 Mei 2018. Agenda sidang Pembacaan putusan sela atas keberatan atau eksepsi Sulaiman terhadap dakwaan jaksa Penuntut umum. Tempo/Fakhri Hermansyah
Nelson mengatakan perkara Sulaiman adalah bentuk kriminalisasi lainnya di Pulau Pari. Saat ini, kata Nelson, Sulaiman sedang menunggu putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara setelah sebelumnya dilaporkan Pintarso Adijanto karena penyerobotan lahan.
“Kepemilikan tanah yang dimiliki Pintarso Adijanto telah dimentahkan oleh Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI yang telah menyatakan 62 Sertifikat Hak Milik (SHM) dan 14 SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan) di Pulau Pari maladministrasi,” ujar Nelson.
Baca:
Anies Baswedan Pantau Sidang Nelayan Pulau Pari Versus Pengembang
Warga dan Nelayan Pulau Pari Unjuk Rasa Tuntut Bertemu Anies Baswedan
Nelson menambahkan hampir 90 persen tanah di Pulau Pari sudah diklaim oleh perorangan maupun korporasi. Menurut dia, semua sertifikat tersebut muncul tanpa adanya pengukuran tanah sebagaimana wajib berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Sejumlah warga Pulau Pari berunjuk rasa di depan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, 8 Mei 2018. Dalam aksi tersebut, mereka memborgol tangannya dan menuntut dihentikannya kriminalisasi terhadap nelayan. TEMPO/Muhammad Hidayat
Padahal, kata dia, tanah tersebut sudah lama dimiliki dan ditempati secara efektif oleh warga Pulau Pari. Warga Pulau Pari, kata Nelson lagi, sudah melaporkan upaya perampasan tanah ke Gubernur DKI Jakarta dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
“Namun sampai saat ini tindak lanjut atas pelaporan warga. Negara masih tutup mata atas upaya perampasan ruang-ruang hidup rakyat,” tuturnya.