Di sisi lain, sub-suku Moi Sigin berkonflik dengan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS). Perusahaan tersebut berencana akan membabat seluas 18.160 hektare hutan adat Moi Sigin untuk perkebunan sawit.
PT SAS sebelumnya memiliki konsesi atas 40 ribu hektare lahan di Kabupaten Sorong, Papua. Pemerintah pusat lalu mencabut izin pelepasan kawasan hutan PT SAS dan izin usahanya pada 2022. Namun, PT SAS menentang keputusan tersebut dan mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta.
Wakil masyarakat adat Moi Sigin pun turut melawan dengan mengajukan diri sebagai pihak yang terlibat dalam persidangan di PTUN Jakarta pada Desember 2023. Setelah hakim menolak gugatan awal pada Januari lalu, masyarakat adat Moi Sigin mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada tanggal 3 Mei 2024.
Apabila konflik masyarakat suku adat dengan pemerintah dan perusahaan ini terus berlanjut, maka akan ada tiga kerugian yang muncul sebagai akibat dari konflik yang berkelanjutan ini. Salah satunya adalah keberadaan perusahaan sawit PT IAL dan PT SAS yang dapat merusak hutan yang menjadi sumber penghidupan, pangan, air, obat-obatan, budaya, dan pengetahuan masyarakat adat Awyu dan Moi.
“Potential loss-nya, jika terus dibiarkan akan berdampak pada, pertama, kehilangan ruang hidup bagi masyarakat adat yang selama ini hidup bersama alam,” ucap juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Asep Komaruddin ketika dihubungi, Selasa, 4 Juni 2024.
Kedua, hutan adat itu juga merupakan habitat bagi flora dan fauna endemik Papua, sehingga masyarakat adat bisa kehilangan biodiversitas yang ada dalam hutan alam tersebut. Ketiga, kata Asep, pembukaan hutan yang sangat luas ini akan mengakibatkan pelepasan emisi karbon.
“(Ini) yang akan menambah kontribusi pelepasan karbon Indonesia yang akan memperparah krisis iklim,” ucapnya.
Operasi PT IAL dan PT SAS dikhawatirkan memicu deforestasi yang akan melepas 25 juta ton CO2e ke atmosfer. Hal ini dapat memperparah dampak krisis iklim di Tanah Air.
Selain itu, menurut Asep, konflik ini juga terjadi lantaran proses pelepasan hak adatnya tidak melibatkan masyarakat adat selaku pemilik dari hutan adat tersebut. Dia pun mengatakan hutan adat tersebut harus dikembalikan ke pemilik aslinya, yakni Suku Awyu dan Suku Moi. “Harusnya hutan adat tersebut dikembalikan kepada masyarakat adat selaku pemilik hutan adat tersebut,” ujar Asep.
RADEN PUTRI
Pilihan Editor: Densus 88 Ternyata Bangun 'Posko Cipete' untuk Intai Jampidsus Selama Setahun Lebih