TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian melaporkan dugaan korupsi pengadaan alat pelontar gas air mata (pepper projectile launcher) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Adapun pihak yang dilaporkan adalah institusi kepolisian.
“Kami belum tahu namanya siapa, jadi institusi saja yang kami laporkan,” kata Ketua Umum Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, di KPK, Senin, 2 September 2024. “Jadi di situ ada PPK-nya. Tentu itu ada bagian pengadaan barang dan jasa di Kepolisian yang bagian unit yang memang mengadakan.”
Koalisi Masyarakat Sipil yang membuat laporan itu dari 17 lembaga, di antaranya adalah YLBHI, Indonesia Corruption Watch (ICW), LBH Pers, Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), PSHK, KontraS, ICJR, dan Greenpeace.
Koordinator ICW, Agus Sunaryanto, mengatakan ada tiga potensi penyimpangan yang dilakukan oleh kepolisian. Pertama, adanya dugaan persekongkolan tender yang mengarah kepada merek tertentu. Kedua, adanya indikasi mark up atau penggelembungan harga yang dilakukan oleh panitia pengadaan. Ketiga, pemenang tender diduga merupakan anggota atau memiliki relasi dengan aparat kepolisian.
Menurut Sunaryanto, ada perbedaan harga yang menyolok dalam pengadaan 2022 dan 2023. "Dugaan indikasi mark up ini mencapai Rp 26 miliar,” kata Agus.
Agus menyebut, temuan ini sudah disampaikan kepada pimpinan KPK, termasuk pada bagian pengaduan masyarakat agar segera ditindaklanjuti. “Karena sekali lagi, anggaran yang digunakan ini adalah bersumber dari anggaran pendapatan belanja negara yang itu notabene berdasarkan dari pajak masyarakat,” tuturnya.
Menurut dia, menjadi sangat ironis apabila masyarakat memberikan pajaknya untuk penyediaan alat pengamanan, tapi justru masyarakat menerima dampak negatif terhadap pengadaan gas air mata tersebut. “Sehingga ini yang harapannya bagi kami, Karena tadi soal kewenangan dari KPK sendiri untuk menangani kasus-kasus yang diduga melibatkan aparat penegak hukum,” ucapnya.
Ketua Umum Pengurus YLBHI, Muhammad Isnur, mengatakan laporan atas dugaan tindak pidana korupsi di kepolisian ini bagian dari partisipasi publik. Selain itu, kata Isnur, gas air mata dalam konteks kekuatan kepolisian dalam tindakan di lapangan sebenarnya tidak boleh dilakukan lagi.
“Karena ini berbahaya, sangat banyak di negara lain dilarang. Kenapa? karena penggunaannya selama ini tidak pernah diaudit, bagaimana penggunaannya, saatnya kapan, dimana, bagaimana dan dampaknya seperti apa dan dalam banyak kasus ini berdampak bahkan kepada kematian.”