TEMPO.CO, Batam - Tragedi penggusuran paksa warga Pulau Rempang tepat berusia satu tahun pada hari ini, Sabtu, 7 September 2024. Sejumlah warga melakukan peringatan terhadap tragedi bentrokan dengan sekitar seribuan aparat gabungan tersebut.
Bentrokan antara aparat dan warga tak terelakan satu tahun lalu. Warga berhadapan dengan petungan, gas air mata, peluru karet demi mempertahankan kampung leluhur mereka. Sejumlah anak yang sedang berada di sekolah di sekitar lokasi kejadian pun menjadi korban gas air mata. Warga terluka, dan 8 orang lainnya ditangkap dan dibui.
Sejumlah warga melakukan berbagai kegiatan peringatan sejak Jumat kemarin, 6 September 2024. Mereka bebondong-bondong berziarah ke makam-makan tua yang terdapat di Lubuk Lanjut, Kampung Pasir Panjang. Salah satu yang hadir adalah Ridwan, ia sosok lelaki yang viral ketika bentrok terjadi. Kepala Ridwan ketika itu terkena peluru karet, video kepala pria paruh baya ini berlumuran darah tersebar kemana-mana.
"Masih ingat, ini kepala saya dijahit sembilan, karena peluru karet," kata Ridwan mengenang usai menggelar ziarah.
Bagi Ridwan kejadian itu tidak menyurutkan hatinya untuk tetap melawan penggusuran. "Kejadian tanggal 7 September di Jembatan 4, saya minta pada saudara saya semua yang ada di pulau Rempang ini bertahanlah, berteguhlah, dari ikatan tali pinggang ibu bapak, dimana ibu pergi distulah perginya, dimana nenek moyang ada disitu kita ada," kata Ridwan.
Ridwan tidak bisa membayangkan kejadian saat itu. Ia hanya tahu berani melawan karena membela kebenaran. "Saya berani berdarah membela kebenaran, tanah air Indonesia akan dimasuki pihak asing untuk mengelola tanah Pulau Rempang, maka kami bertahan mau mati-matian ketika itu,"kata Ridwan.
Sorang warga Rempang lainnya, Siti Hawa menyatakan tragedi 7 September itu adalah kejadian sadis dan bukti zalimnya pemerintah kepada masyarakat. Dia pun menyatakan kejadian itu akan terus mereka peringati setiap tahunna. "Setiap tahun itu akan kami ingat, tidak akan lupa," kata Siti.
Siti mengatakan, apalagi ketika itu aparat menggunakan gas air mata untuk mengusir warga pulau Rempang. "Dulu nenek moyang berlawan dengan penjajah belanda. Sekarang pemerintah yang menjajah kita," ujarnya.
Siti menegaskan, mereka akan tetap menolak kampung leluhurnya diambil untuk dijadikan Rempang Eco City, proyek strategis nasional (PSN) yang akan dibangun di sana. "Kalau kita menyerah banyak menjadi korban di laut dan darat," katanya yang juga hadir saat berziarah.
Penolakan terhadap proyek itu pun diserukan oleh warga lainnya, Miswadi. Dia menyatakan tak akan angkat kaki dari tanah leluhurnya itu.
"Yang jelas pada intinya kami akan tetap meolak relokasi dan investasi jahat seperti ini sampai mati," kata dia.
Ziarah kubur yang berlangsung pada Jumat kemarin pun diikuti secara khitmat. Muhammad Sani, tetua masyarakat adat Pulau Rempang, memimpin berbagai doa untuk keselamatan mereka.
"Pada kesempatan ini kami mohon doa restu kepada arwah-arwah orang tua kami, leluhur kami ini. Minta agar daerah-daerah kami Pulau Rempang ini, kampung-kampung tua yang 16 titik dan juga luar 16 titik ini tidak digusur," kata Sani.
Beberapa warga Rempang yang hadir tidak bisa menahan isak tanggis ketika Sani melafalkan doa. Warga juga menyirami makam-makan tua yang berada di bawah akar pohon-pohon Ara yang menjulang tinggi dan besar. "Ini menandakan, kami sudah 8 keturunan ada di Rempang, bahkan sebelum pohon besar ini ada, makam-makan ini sudah ada," kata Sani.
Sani menegaskan, Rempang bukanlah pulau kosong. Pancang makam ini menjadi dasar mereka menyebut kampung itu sebagai tanah leluhur mereka di wilayah Batam, Kepulauan Riau.