TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi atau Dewas KPK menyatakan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron terbukti melanggar kode etik dan menjatuhkan sanksi sedang berupa teguran tertulis dan pemotongan gaji. Ghufron dinilai menggunakan pengaruhnya sebagai pimpinan KPK dalam membantu mutasi aparatur sipil negara (ASN) Kementerian Pertanian ke Malang, Jawa Timur.
“Mengadili, menyatakan Nurul Ghufron terbukti menyalahgunakan pengaruh untuk kepentingan pribadi sebagaimana diatur Pasal 4 ayat 2 huruf B Peraturan Dewas Nomor 3 Tahun 2021 tentang Penegakan Kode Etik dan Kode Perilaku KPK,” kata Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean saat membacakan amar putusan, Jumat, 6 September 2024.
Tumpak menyebut, Dewas KPK menjatuhkan sanksi sedang kepada Ghufron berupa teguran tertulis, yaitu agar terperiksa tidak mengulangi perbuatannya dan agar terperiksa selaku pimpinan KPK senantiasa menjaga sikap dan perilaku dengan menaati dan melaksanakan kode etik dan kode perilaku KPK.
“Dan pemotongan penghasilan yang diterima setiap bulan di KPK sebesar 20 persen selama 6 bulan,” kata dia.
Lantas apa saja tingkatan dan jenis sanksi bagi komisioner KPK pelanggar kode etik?
Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Peraturan Dewas KPK NOMOR 3 Tahun 2021, tingkat sanksi bagi komisioner KPK yang melakukan pelanggaran etik terbagi menjadi tiga yaitu, ringan, sedang, dan berat.
Sanksi Ringan
1. Teguran Lisan
2. Teguran Tertulis
Sanksi Sedang
1. Teguran Tertulis dan pemotongan penghasilan yang diterima setiap bulan sebesar 10 persen selama 6 bulan
2. Teguran Tertulis dan pemotongan penghasilan yang diterima setiap bulan sebesar 20 persen selama 6 bulan.
Sanksi Berat
1. Teguran Tertulis dan pemotongan penghasilan yang diterima setiap bulan sebesar 40 persen selama 12 bulan; atau
2. Diminta untuk mengajukan pengunduran diri sebagai Dewan Pengawas atau Pimpinan.
Apabila perbuatan dengan tingkat sanksi yang berbeda-beda, maka sanksi yang dijatuhkan adalah sanksi yang terberat. Dalam hal terjadi pengulangan pelanggaran etik dalam jangka waktu satu tahun dihitung sejak penjatuhan sanksi, maka dijatuhkan sanksi satu tingkat di atasnya.
Sebelumnya, Eks Penyidik KPK, Yudi Purnomo Harahap, mengaku terkejut dengan putusan Dewas KPK yang memberi sanksi sedang kepada Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. Menurut dia, sanksi teguran tertulis dan pemotongan gaji sebesar 20 persen relatif ringan.
“Putusan tersebut terlalu ringan dan tidak akan menimbulkan efek jera bagi pimpinan dan pegawai KPK lainnya untuk melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh NG,” kata Yudi dalam keterangan tertulis, Jumat, 6 September 2024.
Yudi mengatakan, seharusnya KPK mempunyai standar etik tinggi untuk tidak terlalu ikut campur dalam urusan yang bukan tugas dan pokok serta fungsinya memberantas korupsi. Terlebih, ini berkaitan dengan mutasi di tempat lain. Nurul Gufron, kata Yudi, seharusnya diberi sanksi berat untuk mengundurkan diri.
“Namun sekali lagi, putusan sudah dibacakan, setidaknya Nurul Gufron telah terbukti bersalah melanggar etik dan tentu ini semakin membuat kepercayaan publik kepada KPK semakin rendah.”
Sementara itu, Dewas KPK mengatakan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dijatuhi sanksi sedang karena pelanggaran kode etik yang dilakukannya berdampak terbatas.
“Sanksinya kami jatuhkan sanksi sedang. Secara musyawarah kami berpendapat bahwa dampak yang ditimbulkan baru terbatas terhadap dampak negatif bagi KPK, menurunkan citra KPK,” kata Tumpak.
Tumpak mengungkapkan bobot sanksi yang dijatuhkan terhadap insan KPK yang melakukan pelanggaran kode etik ditentukan oleh dampak yang ditimbulkan oleh pelanggarannya.
“Karena berat ringannya sanksi tu tergantung daripada dampak yang ditimbulkan. Dalam hal ini, dampaknya masih terbatas pada menurunnya citra institusi KPK, belum sampai ke tingkat merugikan pemerintah,” ujarnya.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | DEFARA DHANYA PARAMITHA
Pilihan Editor: Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron Langgar Kode Etik Soal Intervensi Mutasi ASN Kementan