TEMPO.CO, Medan - Ratusan guru honorer di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Sumut), terus menggelar demonstrasi di berbagai lokasi dalam sembilan bulan terakhir. Mereka merupakan korban praktek percaloan seleksi Pegawai Pemerintahan dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Kabupaten Langkat, Tahun 2023.
Koordinator Aliansi Guru Pejuang PPPK Honorer Langkat, Irwansyah, menyatakan mereka menuntut agar Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Utara segera mengusut masalah ini secara tuntas dan Pemerintah Kabupaten Langkat membatalkan hasil seleksi tahun 2023. "Selama sembilan bulan, kami sudah berunjuk rasa ke Polda Sumut, PTUN Medan, kantor bupati sampai DPRD Langkat, tuntutan kami tak digubris," kata Koordinator Aliansi Guru Pejuang PPPK Honorer Langkat, Irwansyah, Kamis, 12 September 2024.
Polda Sumut awalnya menetapkan dua orang tersangka dalam kasus ini pada Maret 2024. Mereka adalah Kepala SDN 055975 Pancur Ido, Awaluddin, dan Kepala SD 056017 Tebing Tanjungselamat Rahayu Ningsih. Belakangan, Polda Sumut menetapkan Kepala Dinas Pendidikan Langkat Saiful Abdi, Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Langkat Eka Syaputra Depari, dan Kepala Seksi Kesiswaan Bidang SD Disdik Kabupaten Langkat Alek Sander sebagai tersangka. Kelimanya hingga saat ini tak ditahan. Meskipun demikian, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan yang mendampingi para korban menilai polisi belum mengungkap aktor intelektual kasus percaloan ini.
LBH Medan juga mendesak Polda Sumut segera menahan semua tersangka. "Penetapan Kadis Pendidikan dan BKD Langkat membuktikan telah terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif dalam penyelenggaraan seleksi PPPK Langkat 2023 yang merugikan ratusan guru honorer," kata Direktur LBH Medan Irvan Saputra.
Kecurangan ini bertentangan dengan UUD 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, PermenpanRB Nomor: 14 Tahun 2023, Kemendikbud 298, ICCPR dan Duham.
Modus percaloan
Irvan menyatakan pihaknya telah menyerahkan berbagai bukti ke polisi untuk mengungkap kasus ini. Salah satu bukti adalah rekaman suara guru bernama Angga yang berbicara dengan tersangka Rahayu pada 24 Desember 2023, dua hari setelah pengumuman seleksi. Angga adalah guru honorer yang menyetor uang puluhan juta kepada Rahayu namun tak lolos seleksi. Dalam pembicaraan itu Angga pun meminta Rahayu mengembalikan uangnya. “Sabar kenapa? Apa nggak percaya kau sama ibu? Kan butuh waktu mengambil duit kalian, berhari-hari juga,” kata Rahayu dalam rekaman yang didengar Tempo.
Rahayu menyatakan uang tersebut telah dia serahkan ke pihak lain sehingga membutuhkan waktu untuk mengembalikannya. “Ibu pulangkan uangnya, kalau tidak dipulangkan, pakai duit pribadi pun ada. Kita mintanya bukan sama orang sembarangan, ya pakai waktulah,” kata Rahayu menyakinkan Angga.
Kuasa hukum para tersangka, Togar Lubis membenarkan isi rekaman itu. Tetapi dia membantah Rahayu sebagai calo seleksi PPPK Langkat. Kata dia, Rahayu awalnya diminta lima guru honorer di sekolahnya , termasuk Angga, untuk mengurus seleksi. Kelima guru itu masing-masing menyerahkan uang Rp 40 juta. Rahayu menyanggupi penguru itu karena sungkan menolak. Togar menyatakan kliennya menyimpan semua uang tersebut di rekening Bank Rakyat Indonesia (BRI) miliknya.
Setelah pengumuman keluar, menurut Togar, hanya satu dari lima guru honorer itu yang dinyatakan lolos menjadi PPPK. Angga pun mendapat desakan agar mengembalikan uang reken-rekannya. Karena saat itu akhir Desember, Rahayu mengaku uangnya sulit diambil. "Angga merekam isi pembicaraan dengan Rahayu dan membaginya agar teman-temannya percaya kalau dia sudah menghubungi Rahayu. Eh, malah dimasukkan ke Youtube," kata Togar saat diwawancarai di PTUN Medan.
Togar mengklaim uang kelima guru sudah dikembalikan kliennya. Ucapan ini berbeda dengan hasil penyidikan Polda Sumut. Polisi justru menyebut Rahayu menerima suap dan rekaman percakapan Rahayu-Angga menjadi bukti penetapannya sebagai tersangka. "Ibu Rahayu menerima uang dari enam guru, jumlahnya puluhan juta," kata Kepala Unit 3 Tipikor Polda Sumut, Kompol Rismanto J Purba.
Selanutnya, cerita korban lainnya
Sedangkan Awaluddin, menerima suap puluhan juta dari 22 guru honorer. Aliran dana itu diduga masuk ke kantong Saiful Abdi. Rania, bukan nama sebenarnya, menyatakan Awaluddin adalah orang yang paling getol mendatangi guru-guru honorer di sejumlah sekolah di Kecamatan Salapian. Dia berjanji bisa meloloskan mereka menjadi PPPK. Awaludin disebut sudah bergerilya sejak Februari 2023. "Nawarinnya macam jual kacang goreng. Saya masih ragu, terus dia bilang, kalau tidak diurus tidak akan lulus," kata Rania kepada Tempo.
Rania menyatakan termakan bujuk rayu setelah mendengar pernyataan rekannya yang menyatakan Awaluddin berpengalaman meluluskan guru di seleksi PPPK. Rania akhirnya sepakat membayar Rp 50 juta dengan uang muka Rp 10 juta pada Mei 2023. Bukti panjar itu tertulis di secarik kuitansi sebagai pembayaran utang. Kata Rania, trik ini dilakukan Awaluddin untuk menghindari delik hukum.
Rania kemudian mencicil pembayaran ke Awaluddin sampai lunas Rp 50 juta. Menjelang pengumuman kelulusan, Awaluddin meminta uang tambahan Rp 30 juta. Alasannya persaingan semakin ketat, sehingga Rania harus membayar lebih besar dari guru lain. Rania menyanggupi permintan itu namun tak juga lolos. Awaluddin, menurut Rania, pun telah mengembalikan uang yang sempat diterimanya. "Saya sempat melihat buku catatannya, ada 35 orang yang diurusnya, yang lulus ada 15-an. Salah satunya kawan saya mengajar, lulus sama dia," ujar Rania.
Menurut Rania, Awaluddin tidak mengurus ujiannya karena mengira nilai tesnya sudah bagus. Rania menduduki peringkat 300 untuk nilai Computer Assisted Test (CAT), sementara kuota yang diterima untuk guru SD sebanyak 415 orang. Setelah mengikuti Seleksi Kompetensi Teknis Tambahan (SKTT), dia menempati rangking 403. "Saya tidak lulus karena dari 415 itu, 15 diantaranya untuk disabilitas," ucapnya. Rania menduga, Awaluddin sengaja tidak mengurus proses seleksinya supaya dia lulus seleksi secara normal sehingga tidak perlu menyetor lagi ke Saiful Abdi.
Seorang guru di Kecamatan Tanjung pura dengan nama samaran Nur sempat diperiksa penyidik Polda Sumatera Utara pada Juli 2024. Kepada penyidik, Nur mengungkapkan keterlibatan mantan Kepala Bidang Pembinaan SD Disdik Langkat, Muhammad Ridwan. Nur mengaku sempat menemui Ridwan bersama enam rekannya di sebuah cafe di Kecamatan Brandan, jauh sebelum pengumuman seleksi PPPK. Ridwan, menurut Nur, menawarkan mereka lolos seleksi PPPK jika membayar uang sebesar Rp 15 juta.
Dari tujuh orang itu, menurut dia, hanya dua guru honorer yang tertarik. Akan tetapi mereka pun tidak lolos dan uangnya raib entah kemana. Setelah itu, kata Nur, Ridwan sulit dihubungi, apalagi setelah dicopot dari jabatannya karena terbukti memakai narkoba di Diskotik Blue Star, Kota Binjai pada April 2024. "Semenjak kasus narkoba itu,menghilang dia dari peredaran," ujar Nur.
Soal Ridwan terbukti memakai narkoba dibenarkan Kapolres Binjai AKBP Rio Alexander Panelewen pasca penangkapan. Namun Ridwan tidak ditahan, hanya menjalani rehabilitasi.
Guru lain dengan inisial Joni juga mengungkap keterlibatan Saiful dalam praktik percaloan ini. Joni mengaku menyerahkan sendiri uang sebesar Rp 15 juta kepada Saiful. Joni mengaku mengenal Saiful dari ibunya yang pernah bekerja di Disdik Langkat. Joni mengatakan ibunya sempat bertemu Saiful di sebuah acara, sekitar Juli 2023. Saat itu, Saiful menawarkan bantuan untuk meluluskan Joni. Joni dan ibunya lantas mendatangi rumah Saiful sekitar Agustus 2023. Saat bertemu, Saiful menjamin kelulusan Joni. "Tenang, kamu prioritas," kata Joni menirukan ucapan Saiful.
Saat pertemuan itu, Joni menanyakan berapa uang yang harus dibayar. Saiful enggan menyebutnya. Beberapa hari kemudian, Joni membawa uang pinjaman dari keluarga sebesar Rp 15 juta, diserahkan ke Saiful. "Saya bilang ke dia, saya cuma punya segini, kalau kurang nanti saya tambah. Terus dia bilang, ya udah, gak usah dipikirkan," ujar Joni.
Saat pengumuman, Joni tidak lulus. Dia menjumpai Saiful yang terkejut dirinya tidak lulus. Saiful menunjukkan bundelan kertas yang isinya ratusan orang yang diprioritaskan lulus, salah satunya adalah namanya. Saiful lalu menyalahkan BKD karena memberinya nilai rendah. Saiful kemudian berjanji akan memasukkan Joni sebagai pegawai cadangan.
"Kalau ada peserta yang mengundurkan diri, masuklah saya sebagai sisipan. Janji itu tak terbukti. Saya datangi lagi rumahnya dan minta uang dikembalikan. Saiful jawab, uang sudah habis," ujarnya.
Selanjutnya, praktek guru siluman