TEMPO.CO, Jakarta - Seorang pria paruh baya yang sedang duduk di bibir Sungai Ciliwung tampak pasrah melihat tiang pancang disematkan ke tanah yang dulu di atasnya berdiri rumahnya. Pria tersebut, Icank, 55 tahun, acap kali menengok keadaan rumahnya di Kampung Pulo yang telah rata akibat penggusuran. Bukan hanya rumahnya, mata pencahariannya sebagai buruh serabutan pun ikut tergusur.
"Dulu penghasilan saya per hari tidak tentu. Sekarang semakin tidak tentu setelah digusur," ujar Icank saat ditemui Tempo pada Minggu siang, 13 September 2015. Icank menjelaskan, saat masih tinggal di Kampung Pulo, dia lebih sering mendapatkan panggilan untuk bekerja.
Kondisi tersebut berubah 180 derajat setelah dia beserta istri dan anak-anaknya pindah ke Rusunawa Jatinegara Barat. Karena itu, bapak enam anak ini jarang berada di rusunawa tersebut dan memilih berangkat ke Kampung Pulo sejak pagi hingga malam hari, agar rejeki kembali menghampirinya.
"Saya di rusun itu cuma malam hari saja. Pagi berangkat ke Kampung Pulo, malamnya baru kembali lagi ke rusun," ucap pria yang sejak 1958 telah menetap di Kampung Pulo tersebut.
Hal yang sama dialami Iwan Setiawan, 40 tahun. Pedagang yang dulu rumahnya berada di RT 15 RW 02, Kampung Pulo, itu juga ikut terkena proyek normalisasi Sungai Ciliwung. Iwan, yang tinggal di Rusunawa Jatinegara Barat bersama lima anggota keluarganya, mengaku penghasilannya menurun semenjak warung yang berada di depan rumahnya tersebut ikut tergusur.
"Dulu saya punya warung di depan rumah. Saya yang belanja, kakak saya yang jualan. Sehari bisa dapat tambahan Rp 20-30 ribu. Sejak digusur, kakak saya tidak dagang lagi. Otomatis, cuma saya yang tanggung jawab buat keluarga," ujar pria yang saat ini sehari-hari berjualan di Pasar Gang Piring tersebut.
Iwan juga menuturkan banyak kebiasaan warga Kampung Pulo yang berubah setelah dipindahkan ke Rusunawa Jatinegara Barat. Biasanya, setiap sore, dia dan para tetangga akan berkumpul di pinggir sungai untuk sekadar mengobrol atau arisan.
Selain itu, warga kerap mengadakan pengajian. "Sekarang tetangga pada mencar. Dulu anak-anak juga ada pelajaran mengaji di masjid. Tapi sekarang mereka cuma berkeliaran begini," katanya.
Agung Taufik, 35 tahun, juga memiliki kisah serupa. Agung berujar, banyak hal yang berubah setelah rumahnya di Kampung Pulo digusur dan terpaksa harus pindah ke Rusunawa Jatinegara Barat. Dahulu, dia bersama enam anggota keluarganya tinggal di rumah yang cukup besar dengan lima kamar tidur. Saat ini keluarganya terpaksa harus menempati satu unit rusun yang hanya ada dua kamar tidur.
"Rumah yang sekarang sempit. Jadi yang rumahnya kena gusur 1 meter, kena gusur 2 meter, atau kena gusur semuanya, ya dapatnya satu unit rusun yang ukurannya sama. Itu kan kurang adil," ucap Agung.
Pria yang menghuni lantai 3 Tower B Rusunawa Jatinegara Barat tersebut juga mengeluhkan soal pengeluarannya yang membengkak setelah pindah. Jika dahulu keluarganya tidak perlu membayar uang sewa, mulai Desember nanti, Agung harus menyisihkan penghasilannya untuk membayar biaya keamanan, biaya teknisi, dan biaya perawatan gedung sebesar Rp 300 ribu per bulan.
Sebagian warga Kampung Pulo mengaku lebih betah berada di kampung mereka daripada di Rusunawa Jatinegara Barat. Perubahan-perubahan yang hadapi setelah digusur kerap kali membuat mereka stres dan ingin kembali ke rumah mereka yang berada di bantaran Sungai Ciliwung tersebut.
"Setelah tiga bulan dapat rusun gratis, saya tidak tahu selanjutnya mau tinggal di mana. Buat makan saja susah, apalagi buat sewa rusun. Lebih enak memang di Kampung Pulo," tutur Icank.
ANGELINA ANJAR SAWITRI