TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Sub Direktorat Penyidikan Kementerian Komunikasi dan Informatika Teguh Arifiyadi menjadi saksi ahli dalam sidang kasus kabar bohong dengan terdakwa Ratna Sarumpaet di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis, 9 Mei 2019.
Dalam kesaksiannya, Teguh mengatakan pengiriman pesan dari satu orang ke orang lain atau bersifat pribadi belum dapat dapat digolongkan ke dalam pidana yang diatur dalam Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang ITE.
Baca: Sidang Ratna Sarumpaet, Dokter Psikiater Akan Beri Kesaksian
“Karena komunikasi yang sifatnya privat itu masuknya transmisi, bukan penyebaran,” kata Teguh dalam persidangan.
Menurut Teguh, yang dimaksud dengan penyebaran adalah bentuk akumulasi dari mentransmisikan, mendistribusikan, serta membuat pesan itu mudah diakses. Ditambah, dalam penyebaran itu, pesan harus dikirimkan secara serentak dalam waktu yang sama ke banyak orang dengan tujuan untuk diketahui umum, sesuai dengan konteks Pasal 28 ayat 2 UU ITE. "Umum itu adalah publik, orang yang tidak dikenal,” ujarnya.
Saat ditemui usai persidangan, Teguh mengatakan bahwa kebohongan pribadi tidak masuk ke dalam ranah pidana UU ITE. Alasannya, Undang-Undang tersebut berbicara tentang penyebaran kebencian terhadap individu atau kelompok. “Mungkin masuknya ke ranah UU lain. Tidak spesifik ke ITE,” kata dia.
Baca: Puji Ratna Sarumpaet, Fahri Hamzah: Banyak Orang Terus Berbohong
Dalam perkara ini, Ratna Sarumpaet sempat mengirimkan foto wajah lebamnya secara pribadi melalui aplikasi percakapan WhatsApp ke beberapa orang, seperti akademisi Rocky Gerung, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fadli Zon, serta Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Saiq Iqbal.
Ratna juga menyertakan informasi kalau dirinya dianiaya saat berada di daerah Bandara Hussein Sastranegara Bandung pada akhir September lalu. Belakangan Ratna mengakui kalau cerita itu bohong dan penyebab wajahnya lebam adalah operasi sedot lemak yang ia jalani di salah satu rumah sakit daerah Menteng, Jakarta Pusat.
Akibat perbuatannya, Ratna Sarumpaet didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan Pasal 14 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana serta Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45A ayat 2 UU Nomor 19 tahun 2016 tentang ITE. Pasal 14 ayat 1 berbunyi, "Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun". Sedangkan pasal 28 ayat 2 UU ITE berbunyi "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas SARA".