TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin menilai perluasan sistem ganjil genap tidak efektif kurangi polusi udara Jakarta sesuai amanat Instruksi Gubernur Anies Baswedan. Sebab, pemerintah DKI hanya menerapkannya untuk kendaraan roda empat. Sementara menurut Safrudin, emisi kendaraan roda dua menjadi penyumbang terbesar polusi udara di Jakarta.
"Kalau ganjil genap mau efektif ya jangan ada diskriminatif antara roda empat dan dua," kata Safrudin saat bincang dengan media di kantornya di Gedung Sarinah, Jakarta Pusat, Jumat 16 Agustus 2019.
Dari data yang dihimpun KPBB, emisi motor memberi kontribusi polusi terbanyak, yaitu 45 persen per hari. Selanjutnya 21 persen dari bus, 18 persen dari truk, 14 persen dari mobil pribadi, dan dua persen dari mobil berbahan bakar diesel. Emisi motor itulah yang kemudian menyumbang polutan.
Menurut Safrudin, data itu diambil sepanjang pekan ini. Dasar perhitungannya menggunakan formula yang tertuang dalam peraturan pemerintah tentang penghitungan emisi pencemaran udara untuk pemerintah daerah.
KPBB juga melakukan wawancara terhadap pengendara ihwal banyaknya bensin yang dihabiskan per hari. "Jadi jelas sepeda motor dominan menyumbang polutan," ucap dia.
Karena itu, Safrudin menyarankan agar perluasan ganjil genap juga berlaku untuk motor. Dia meminta agar pemerintah DKI tak berasumsi bahwa pengendara motor adalah warga kalangan menengah ke bawah. Pengendalian pencemaran udara DKI, lanjut dia, tak cuma bisa dilakukan dengan ganjil genap, tapi membatasi penjualan bahan bakar tidak ramah lingkungan.
Pemerintah DKI memperluas sistem ganjil genap dari semula berlaku di 9 menjadi 25 ruas jalan. Saat ini pemerintah tengah menyosialisasikan perluasan tersebut. Adapun penegakan hukum baru dilaksanakan pada 9 September. Perluasan ganjil genap ini hanya berlaku untuk mobil pribadi.