TEMPO.CO, Jakarta - Pengacara terpidana kasus korupsi lahan sawit Surya Darmadi, Maqdir Ismail, menanggapi pernyataan Kejaksaan Agung (Kejagung) yang membantah menyita aset bos PT Duta Palma Group itu lebih besar dari yang seharusnya. Maqdir merujuk pada putusan Mahkamah Agung yang menghapus pidana uang pengganti kerugian perekonomian negara terhadap Surya.
"Artinya mereka tidak baca putusan Mahkamah Agung," kata Maqdir lewat aplikasi perpesanan kepada Tempo, Sabtu, 8 Juni 2024.
Putusan Mahkamah Agung yang dimaksud adalah nomor 18/PID.SUS-TPK/2023/PT DKI. Dalam putusan itu, MA mengabulkan kasasi Surya Darmadi. Dalam putusannya, majelis hakim menaikkan hukuman penjara Surya dari 15 tahun menjadi 16 tahun. MA juga menguatkan putusan pengadilan sebelumnya yang menyatakan Surya harus membayar uang pengganti senilai Rp 2,23 triliun.
Akan tetapi, majelis hakim kasasi menghapus kewajiban Surya membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 39,7 triliun. Namun, menurut catatan Maqdir, uang perusahaan Surya Darmadi yang telah disita oleh Kejagung sebesar Rp 5,1 triliun.
"Saya khawatir ada pihak yang hendak menyesatkan Pimpinan Kejaksaan Agung, dengan membuat opini kewajiaban Surya Darmadi lebih besar dari uang yang disita," ujar Maqdir.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung membantah pernyataan Maqdir tersebut. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana, menyatakan tak mungkin pihaknya menyita lebih dari putusan hukum. "Kalau lebih kan enggak mungkin kami sita," kata dia saat dihubungi secara terpisah.
Ketut menjelaskan, kasus korupsi tersebut sudah memiliki putusan yang berkekuatan hukum tetap. Selain itu, Ketut menyatakan masih ada kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Surya Darmadi yang masih ditangani penyidik.
"Yang kedua, ada proses perkara yang sedang juga berjalan terkait dengan itu," ucap Ketut. "Perkara TPPU (tindak pidana pencucian uang)-nya lagi kami tangani ya."
Kejaksaan Agung menjerat Surya Darmadi dalam kasus korupsi penerbitan izin izin lokasi dan izin usaha perkebunan (IUP) kepada empat perusahaan PT Duta Palma Group. Keempat perusahaan tersebut adalah PT Banyu Bening Utama pada tahun 2003, seta PT Panca Argo Lestari, PT Palma Satu, dan PT Sebrida Subur pada tahun 2007. Total lahan yang dikuasai empat perusahaan itu mencapai lebih dari 37 ribu hektare.
Kasus ini bermula saat Bupati Indragiri Hulu periode 1999-2008, Raja Tamsir Rachman, menerbitkan pemberian izin tersebut secara ilegal. Sebab, lahan tempat penerbitan izin itu berada dalam kawasan hutan yang tidak disertai adanya izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Dalam kasus ini, Raja Thamsir Rachman telah divonis 7 tahun penjara dengan kewajiban membayar denda senilai Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan penjara. Kasus ini juga menyeret Gubernur Riau Annas Maamun.
Annas Maamun disebut menerima suap sebesar Rp 3 miliar dari Surya Darmadi melalui Gulat Medali Emas Manurung. Dia pun telah divonis hukuman 1 tahun penjara, namun bebas setelah mendapatkan grasi dari Presiden Jokowi.