Wakil Ketua KPK itu menjelaskan, konstruksi kasus korupsi ini bermula ketika pada 2018, PT PLN UIK SBS mengusulkan anggaran retrofit sistem ke PLN Pusat. Anggaran tersebut kemudian disetujui senilai Rp 52 miliar.
"Pada Agustus 2018, BWA dan BA mengajukan penambahan anggaran sebesar Rp 25 miliar dengan dasar seolah-olah terdapat perubahan spesifikasi teknis sootblower, sehingga anggaran pekerjaan menjadi Rp 75 miliar," kata Alex.
Pada Oktober 2018, NI bersama Direktur PT Austindo Prima Jaya Abadi (APJA) Erik Ratiawan menyiapkan data spesifikasi teknis dan harga penawaran Blower Type F149 yang telah di-markup dari harga asli pabrikan sehingga nilai keseluruhan pekerjaan sebesar Rp 74,9 Miliar yang dijadikan dasar pembuatan Kajian Kelayakan Proyek (KKP) ke-3 secara backdate Tahun 2017 oleh pihak PLTU Bukit Asam.
"Dokumen KKP ke-3 yang tersebut dijadikan dasar pelaksanaan pengadaan oleh bagian Perencanaan Pengadaan dan Pelaksanaan Pengadaan PT PLN UIK SBS," kata Alex.
Menurut Alex, proyek retrofit yang dilakukan PT PLN UIK SBS itu tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pengadaan barang dan jasa di BUMN sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-05/MBU/2008 dan Edaran Direksi PT PLN (Persero) Nomor: 0010.E/DIR/2016 Tentang Petunjuk Teknis Pengadaan Barang/Jasa PT PLN Persero.
"Berdasarkan keterangan ahli terdapat indikasi kemahalan harga sebesar 135 persen dari Rp 74,9 miliar. Kerugian negara yang timbul kurang lebih sekitar Rp 25 miliar," kata Alex.
Alex mengatakan, para tersangka korupsi di PLTU Bukit Asam itu dijerat Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Pilihan Editor: Cerita Atasan Polisi Jambi Minta Maaf dan Kembalikan Mobil Rental Burhanis ke Adira