TEMPO.CO, Gili - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan aset milik Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) seluas 75 hektare di Gili Trawangan, Lombok Utara, tidak dapat dialihkan ke masyarakat. Aset ini diduga dikuasai oleh warga sejak 1990-an dan disewakan ke pelaku usaha dengan harga tinggi
KPK melalui Satuan Tugas Direktorat Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah V datang ke Gili Trawangan untuk mendampingi Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Utara menyelesaikan sengkarut pengelolaan lahan ini. Dalam pendampingan lapangan itu, KPK juga berdialog dengan masyarakat setempat. “Kalau tidak bisa akur dan main salah-salahan, kalian (masyarakat) salah. Karena menyewakan tanah negara,” ujar Dian Patria, Kepala Satgas Korsup Wilayah V KPK, di Gili, Ahad, 18 Agustus 2024.
Pulau Gili Trawangan memiliki luas 340 hektare dengan 75 hektare di antaranya merupakan aset Pemprov NTB. Namun, sejumlah masyarakat merasa berhak atas tanah tersebut dan diduga menyewakannya ke pihak lain tanpa izin. Alhasil Pemprov NTB selaku pemilik lahan tidak menerima retribusi yang seharusnya menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sementara warga yang menyewakan dalam setahun bisa mengantongi miliaran hingga triliunan rupiah. “Diduga sejak 1990-an. Tapi sedikit sekali pemasukan ke Pemprov NTB,” tutur Dian.
Setelah berdialog dengan warga yang menguasai lahan tersebut selama kurang lebih satu jam, KPK memasang plang di salah satu restoran di kawasan pantai timur Gili Trawangan. Penyegelan dilakukan oleh Kepala UPTD Gili Tramena, Mawardi Khairi.
Dalam plang tersebut, tertulis bahwa ‘objek ini ditutup sementara berdasarkan Sertifikat HPL no. 1 Tahun 1993, tanah ini milik Pemprov NTB dengan luas 750.000 m2’. Artinya, lahan tersebut berdiri di atas tanah milik Pemprov NTB dan belum memiliki izin.
Pantauan Tempo di lokasi, restoran bernama EGO itu sebelumnya sudah ditutup dengan penghalang besi tetulis “SHM” dan “Disegel Massa” menggunakan pylox berwarna merah. Tak hanya itu, besi-besi berjejer itu juga dicoret membentuk tanda X.
Setelah pemasangan plang, masyarakat berjumlah 4–5 orang kembali menemui Dian di salah satu cafe. Mereka kembali berbincang kurang lebih 40 menit. Bahkan, dalam dialog itu, warga tak segan meminta bantuan terkait dokumen SHM yang menurut Dian seharusnya tidak dimiliki masyarakat.
Dian menegaskan aset yang berada di Gili tidak bisa dialihkan kepada masyarakat. Aset tersebut hanya boleh dilakukan pemanfaatan oleh masyarakat dengan melakukan perjanjian kerja sama bersama Pemda, sehingga akan masuk ke pendapatan daerah.
"Itu tidak mungkin diberikan hak milik. Ini punya negara, tidak akan mungkin. Makanya jangan sampai ada janji, masyarakat dapat sertifikat, enggak mungkin," ucapnya.
Hal ini sesuai dengan Perda Nomor 5 Tahun 2018, di mana masyarakat hanya diberi izin sewa pemanfaatan lahan dengan melakukan perjanjian kerja sama (PKS), yang mana diwajibkan membayar Uang Wajib Tahunan (UWT) atau pajak sebesar Rp25.000/m2/tahun atau Rp2,5 juta per are per tahun.
Pilihan Editor: Sidak KPK Temukan Dugaan Korupsi Pengeboran Air di Gili Meno dan Gili Trawangan