TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan akan melakukan proses verifikasi terhadap laporan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian. Koalisi telah melaporkan dugaan korupsi pengadaan alat pelontar gas air mata (pepper projectile launcher) ke KPK kemarin, Senin, 2 September 2024.
Juru bicara KPK, Tessa Mahardhika, mengatakan setiap pelaporan atau pengaduan yang masuk maka akan dilakukan proses verifikasi terlebih dahulu. “Dan bila sudah lengkap akan ditelaah dan pengumpulan info,” kata dia ketika dihubungi, Selasa, 2 September 2024.
Apabila dinyatakan layak untuk ditindaklanjuti, kata Tessa, maka akan diproses ke tingkat penyelidikan. “Dan bila belum layak, akan diminta pelapor untuk melengkapi lagi kekurangannya,” tuturnya.
Anggota koalisi, Agus Sunaryanto, sebelumnya menjelaskan ada dua proyek pengadaan gas air mata yang menjadi objek dari laporan mereka. Pertama, pengadaan Pepper Projectile Launcher Polda Metro Jaya berikut pengirimannya menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Tahun 2022 dengan nilai proyek sebesar Rp 49.860.450.000. Kedua proyek pengadaan Pepper Projectile Launcher Polda Metro Jaya Program APBN SLOG Polri TA 2023 dengan nilai proyek sebesar Rp 49.920.000.000.
Berdasarkan hasil analisis yang koalisi lakukan atas dua proyek tersebut, Agus mengungkap tiga temuan yang mengarah pada dugaan tindak pidana korupsi. Pertama, dugaan adanya persengkongkolan tender dengan mengarahkan pada merek tertentu. “Patut diduga kuat bahwa pihak yang bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam dua proyek pengadaan itu menyusun spesifikasi teknis yang mengarahkan pada produk yang spesifik hanya dapat disuplai oleh satu perusahaan peserta tender saja, yakni PT TMDC,” kata dia, Senin, 2 September 2024. Produk Pepper Projectile Launcher yang dimaksud adalah keluaran perusahaan asal Amerika Serikat, Byrna.
Kedua, dugaan pemilik perusahaan pemenang tender merupakan anggota Polri atau setidak-tidaknya memiliki relasi dengan anggota Polri. “Dalam dokumen akta perusahaan diketahui bahwa PT TMDC dimiliki oleh pria berinisial SL selaku Direktur,” tuturnya.
Melalui dokumen tersebut, koalisi menemukan alamat SL dan berdasarkan hasil penelusuran melalui aplikasi google street view, terdapat mobil yang berplat polisi terparkir di depan rumahnya pada 2018.
Menurut Agus, hasil penelusuran ini juga diperkuat dengan hasil liputan salah satu media yang berdasarkan kesaksian dari warga sekitar rumah SL, mengkonfirmasi bahwa benar mobil SL memakai plat Kepolisian. “Berdasarkan keterangan warga, rumah SL juga seringkali didatangi aparat Kepolisian saat hari besar keagamaan,” kata dia.
Ketiga, dugaan penggelembungan harga atau mark up pembelian barang. Agus menjelaskan, total kontrak yang dimenangkan oleh PT TMDC terhadap dua paket pengadaan gas air mata selama dua tahun mencapai Rp 99.780.450.000 dengan jumlah volume sebanyak 3.421 unit.
Koalisi kemudian menelusuri informasi mengenai harga tiap komponennya untuk melakukan perbandingan harga. Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan berdasarkan informasi harga di website resmi Byrna, maka biaya yang sepatutnya dihabiskan oleh Polri dari dua paket pengadaan tersebut hanya sebesar Rp 73.268.187.659.
“Artinya, terdapat selisih yang diduga dengan sengaja digelembungkan dari total nilai proyek, yakni sebesar Rp 26.452.712.341 (Rp 26 miliar),” kata dia.
Oleh karena itu, koalisi mendesak agar KPK segera melakukan penyelidikan atas dugaan korupsi pengadaan senjata pelontar gas air mata ini. Agus juga meminta KPK berkoordinasi dengan lembaga-lembaga terkait untuk melakukan penelusuran terhadap informasi dari laporan ini.