TEMPO.CO, Jakarta - Sinta, 35 tahun, korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang berhasil diselamatkan dari Kamboja tahun lalu menceritakan pengalamannya dipaksa melakukan penipuan daring (online scam). Ia mengatakan target korban banyak yang merupakan orang Indonesia. Salah satu modus yang dipakai, yaitu berpura-pura menjadi customer service PT Telkom.
Perempuan asal Batam ini bercerita saat melakukan penipuan dari Kamboja, ia bekerja dengan dua orang lain yang memiliki peran berbeda. Jika dia berperan sebagai customer service, maka dua temannya ini berakting menjadi polisi dan jaksa.
"Mengatasanamakan dari Telkom dan (menyampaikan ke korban) akan melakukan pemblokiran karena ada tunggakan, padahal enggak ada," ujar dia kepada Tempo, Selasa, 30 Juli 2024.
Sebagai customer service palsu, Sinta bertugas menginformasikan target jika ada tunggakan di PT Telkom dan akan dilakukan pemblokiran jika tidak membayar. Untuk mengelabui, ia tidak akan meminta atau menyarankan targetnya melakukan transfer atas tunggakan fiktif tersebut.
Korban justru akan dicuci otak dan diyakinkan jika identitas dia telah disalahgunakan oleh orang lain. Sinta juga akan menakut-nakuti targetnya soal bahaya pencurian identitas ini. Tidak sulit meyakinkan korban, karena scammer memegang identitas yang tertera di Kartu Tanda Kependudukan (KTP) korban. "Perusahaan membeli identitas tersebut," ujar dia.
Setelah target masuk dalam perangkapnya, Sinta akan memberikan nomor kontak rekannya yang berperan sebagai polisi palsu dan menyarankan korban untuk melapor. "Berpura-pura itu merupakan layanan perusahaan untuk pengaduan dan laporan gratis," ujar dia.
Ketika korban menghubungi rekan Sinta yang menjadi polisi palsu, korban akan dimintai konfirmasi identitas diri. Setelahnya, korban akan kembali dituduh, bahwa namanya masuk ke dalah daftar pencarian orang kasus perdagangan narkoba atau kriminalitas lainnya.
Saat korban bersikeras tidak terhubung dengan kasus yang dituduhkan. Di lapis kedua ini, polisi palsu akan mengarahkannya ke pelaku yang berpura-pura dari pihak Kejaksaan. Korban diminta untuk melakukan pengecekan harta kekayaan guna membuktikan tidak terlibat kriminalitas. "Mereka gampang berbicara karena dari penegak hukum (palsu) yang meminta informasi," ujar Sinta.
Korban lalu diminta mengirimkan semua nominal uang di dalam rekeningnya untuk di-tracking. Pihak kejaksaan palsu tersebut kemudian akan meyakinkan korban, jika memang korban tidak terdeteksi terlibat di kasus yang dituduhkan, maka uang akan dikirmkan kembali. "Ada yang kena Rp 1 miliar," ujar dia.
Sebagai korban perdagangan orang yang pernah dipaksa menjadi scammer, Sinta meminta agar masyarakat lebih waspda jika ada nomor tidak resmi yang menghubungi dan mengatasnamakan suatu perusahaan yang menuduh korban memiliki sejumlah tunnggakan tagihan.
Berdasarkan data Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskim Polri, ada 823 warga Indonesia yang menjadi korban online scam pada periode 2022 - 2024. Jumlah tersebut berasal dari korban jaringan online scam internasional yang beroperasi di Dubai. Artinya, jumlah korban online keseluruhan jauh lebih besar.
Baca berita lainnya: Cerita Korban TPPO di Kamboja: Dipaksa Menipu dan Dihukum jika Tak Mencapai target