TEMPO.CO, Jakarta - Dua mahasiswa melapor ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atas dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam menangani unjuk rasa di depan gedung DPR pada 22 Agustus 2024. Mereka datang ke Komnas HAM didampingi Tim Advokat Pengawal Konstitusi Indonesia.
Syukur Destieli Gulo, anggota Tim Advokat, mengatakan kedua kliennya menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum saat mereka menyampaikan aspirasi untuk menolak RUU Pilkada. Kliennya masing-masing berasal dari Universitas Pamulang dan BSI Jakarta. Saat berunjuk rasa, kliennya tidak melakukan tindakan anarkistis. "Tiba-tiba dilemparkan gas air mata, kemudian diseret, dibanting dan dipukul dengan pentungan," ujar Syukur saat ditemui di Komnas HAM, Jakarta, pada Kamis, 29 Agustus 2024.
Syukur menjelaskan, laporan yang diajukan ke Komnas HAM sudah dilengkapi dengan bukti-bukti, termasuk foto-foto kondisi fisik kedua korban setelah mengalami kekerasan. Ada juga video yang merekam kejadian tersebut.
Menurut Syukur, Tim Advokasi masih mempertimbangkan untuk melaporkan kasus ini ke instansi pengawas internal kepolisian seperti Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri, atau ke instansi terkait lainnya seperti Polisi Militer dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
AR, salah satu korban, menceritakan tentang perbuatan aparat penegak hukum kepada dirinya. Setelah mendapat serangan gas air mata, petugas langsung mendekat dan menyeretnya. Dia bahkan diinjak dan dipukuli. “Saya mencoba menyelematkan diri, tiba-tiba segerombongan polisi datang dan menyeret saya," kata AR.
AT, korban lain, menceritakan, ketika aparat keamanan datang, dia berusaha menarik mundur teman-temannya. "Kira-kira ada sekitar 30 aparat yang memukuli saya,” kata dia. “Saya juga diinjak, dan ditendang. Kemudian saya sempat beberapa kali blackout dan juga sesak nafas."
Selanjutnya, AT dan tiga mahasiswa lain dimasukan ke mobil tahanan selama sekitar empat jam lalu dibawa ke Polda Metro Jaya.
Demonstrasi pada 22 Agustus lalu berawal dari keputusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan ambang batas Pilkada akan ditentukan perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik yang didasarkan atas jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 di masing-masing daerah. Selain itu, MK juga menetapkan batas usia calon kepala daerah minimal 30 tahun saat penetapan calon oleh KPU.
Namun, sehari setelah putusan tersebut, Badan Legislatif menggelar rapat untuk membahas RUU Pilkada. Dalam rapat itu, Baleg menyatakan tetap menggunakan ambang batas 20 persen kursi di parlemen bagi partai politik yang hendak mengusung calon di pemilihan kepala daerah. Rencana Baleg itulah yang ditentang oleh pengunjuk rasa.
Belakangan, DPR, KPU, dan pemerintah sudah menyepakati PKPU yang akan berlaku untuk Pilkada 2024. Dalam peraturan itu putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 tentang ambang batas dan putusan MK No. 70/PUU-XXII/2024 tentang batas usia calon sudah diakomodir.