TEMPO.CO, Jakarta - Ramli memiliki sejumlah kegelisahan dalam benaknya sebagai nelayan Natuna. Laki-laki berusia 37 tahun itu merasa beberapa tahun terakhir suasana melaut di Laut Natuna tidak terlalu aman.
Dia dan rekan-rekannya beberapa kali melihat kapal nelayan asing yang dikawal oleh kapal militer di Laut Natuna. Jarak kapal asing itu paling dekat terlihat sekitar 50 mil dari Pulau Bunguran yang masuk ke dalam teritorial Indonesia.
“Sering masuk ke sini (wilayah Natuna), tapi tidak mengganggu,” ucapnya saat ditemui di Pelabuhan Teluk Baruk, Natuna, Kepulauan Riau, pada Kamis, 29 Agustus 2024.
Padahal dalam kondisi ini, nelayan Natuna masih berlayar di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) sepanjang 200 mil dari garis pantai. Selain itu masih ada pulau terluar sisi utara Kabupaten Natuna, yaitu Pulau Laut.
Keberadaan kapal militer asing itu justru membuat khawatir dengan risiko akan ditangkap dengan tuduhan melanggar batas teritorial negara. Situasi ini berbeda dengan nelayan Natuna, yang justru sering melaut sendiri tanpa ada pengawalan militer.
Ramli dan nelayan lain pernah menjumpai kapal asing itu pada waktu sore dan malam hari di Laut Natuna. Aktivitas penangkapan ikan secara ilegal itu dilakukan oleh 10-12 kapal dengan pukat harimau dengan jarak di atas 90 mil dari Pulau Bunguran.
“Macam kota lampu, makanya kalau daerah sana kami jarang dapat ikan, memang betul-betul susah,” kata Ramli.
Penangkapan nelayan Natuna juga pernah terjadi akibat tuduhan melanggar batas wilayah negara. Namun sejak tahun 2016 Ramli berlayar, tidak sampai ada kontak senjata dari kapal asing.
Sehari-harinya, Ramli menangkap ikan kerapu, kakap, dan berbagai jenis ikan lainnya. Dia berlayar menggunakan kapal motor berwarna birunya yang bisa menampung 20-30 orang jika tanpa membawa hasil melaut.
Tangkapan ikan paling sedikit yang pernah dia dapat seberat 200-300 kilogram dalam waktu paling lama tujuh hari berlayar. “Paling banyak kami pernah satu ton,” ujarnya.
Jumlah itu jauh lebih sedikit daripada kapal nelayan asing yang mencuri dengan pukat harimau. Kapasitas kapal mereka juga jauh lebih besar daripada nelayan lokal.
Ramli merasa jumlah tangkapan ikan saat ini jauh lebih sedikit di bandingkan ketika Susi Pudjiastuti masih menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Susi merupakan menteri pada Kabinet Kerja era Presiden Joko Widodo periode 2014-2019.
Ketika Susi menjabat, kata Ramli, tangkapannya bisa mencapai 300-400 kilogram dalam waktu dua hari melaut saja. Keadaan itu dipengaruhi nelayan asing takut masuk ke wilayah Indonesia, jika tertangkap risikonya adalah kapal akan ditenggelamkan.
“Sekarang mau cari 200-300 kilogram terkadang satu minggu, memang jauh berkurang. Semenjak zaman Bu Susi dulu memang enak dan aman,” tuturnya.
Ramli hanya bisa berharap nelayan Natuna dapat berlayar tanpa rasa takut atau intimidasi dari kapal asing. Keberadaan nelayan asing di Indonesia sangat mempengaruhi tangkapan ikan nelayan lokal.
Jika sedang tidak menangkap ikan, Ramli membuka jasa antar jemput penumpang yang hendak berwisata di Pulau Senoa. Waktu tempuh dari Pulau Bunguran ke Pulau Senoa kurang lebih selama 15 menit.
“Tarifnya Rp 500 ribu untuk pulang-pergi,” kata Ramli.
Sewa kapal untuk ke Pulau Senoa ramai ketika libur akhir pekan atau momen libur panjang seperti lebaran. Penumpang dan pemilik kapal bisa menyepakati kapan waktu keberangkatan dan penjemputan.
Pilihan Editor: Rumah Detensi Ranai di Natuna Kosong 2 Tahun karena Tak Ada Nelayan Asing yang Ditangkap