TEMPO.CO, Jakarta - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kembali menggelar sidang dugaan korupsi timah dengan terdakwa Harvey Moeis. Kepala Divisi Perencanaan Pengendalian Produksi PT Timah Tbk, Ridwan Suwandi, hadir sebagai saksi dalam persidangan hari ini, Kamis, 5 September 2024.
Selain Harvey Moeis, perkara ini juga menyeret eks Direktur Utama PT Timah, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, serta Dirut PT Refined Bangka Tin (RBT), Suparta.
Dalam kesaksiannya, Suwandi mengatakan instruksi Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP) dan Sisa Hasil Produksi (SHP) sukses menyokong produksi PT Timah. "Dari hasil produksi PT Timah yang bisa mencapai 80 persen atau sekitar 30 ribu ton bijih timah," kata dia.
Ia menjelaskan instruksi tersebut muncul setelah para direksi PT Timah memutuskan melanjutkan kerja sama dengan sejumlah perusahaan smelter swasta, termasuk PT RBT. "Waktu itu ada penawaran kerja sama dari PT RBT. Disampaikan oleh direksi, katanya, ini tolong dikaji soal kerja sama smelter," ujarya.
Suwandi menyebut PT Timah sudah tidak lagi melakukan penambangan sejak 2015. Penambangan justru dilakukan oleh para mitra dengan perjanjian kerja dan surat perintah kerja (SPK) alias penambang legal, serta para penambang ilegal.
Dia menyebut PT Timah menerima hasil pelimbang tambang ilegal. Alasannya sejak adanya kerja sama dengan smelter swasta, penambangan ilegal semakin masif. Penambangan ilegal dilakukan di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah. "Program SHP untuk mengumpulkan dari masyarakat pelimbang, instruksi itu diterbitkan oleh PT Timah," ucap dia.
Suwandi berujar perintah untuk penggunaan pelimbang tambang ilegal muncul dalam instruksi 059 tahun 2015, yang kemudian dilanjutkan dengan kajian legal. Setelah itu, barulah dibuat SOP 02. Poin intinya, kata dia, semua SHP yang ada dalam objek produksi perusahaan harus dikirim ke gudang PT Timah dengan pembayaran jasa.
Tidak hanya instruksi 059, direksi perusahaan plat merah itu pun turut menerbitkan instruksi 030 dengan tujuan pengamanan aset PT Timah, yang isinya apabila masyarakat pelimbang tidak bersedia menjual bijih timah ke PT Timah, maka harus keluar dari IUP.
Aturan itu dibuat lantaran masyarakat lebih suka menjual bijih timah ke kolektor karena menggunakan sistem ijon atau gadai. Sistem tersebut berjalan dengan pemberian modal di awal. Kegiatan seperti itu, Suwandi melanjutkan, terjadi wilayah tambang darat, yakni di Bangka dan Belitung.
Dia menjelaskan pada 2018, direktur utama memerintahkan untuk mengamankan bijih timah di wilayah tersebut. Sebab, bijih tersebut merupakan milik PT Timah dan harus diamankan. "Maka kami membuat konsep instruksi 030. Pada programnya, bijih timah itu diberikan kompensasi dengan mempedomani SOP 02," tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, Suwandi berkata direksi PT Timah melibatkan seseorang bernama Tetian Wahyudi untuk mengumpulkan bijih timah dari para kolektor. Pengumpulan itu mengatasnamakan produksi dari SHP.
Pilihan Editor: Nama Mukti Juharsa Muncul di Kasus Timah, Kejagung: Tak Ada Kaitannya dengan Penguntitan Densus 88