TEMPO.CO, Jakarta - Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) merilis laporan awal soal kekerasan yang dilakukan aparat penegak hukum selama aksi Peringatan Darurat Kawal Putusan MK pada akhir Agustus lalu. Dalam laporan itu, mereka menyatakan ratusan orang menjadi korban.
“Sebanyak 254 korban mengalami luka-luka serta 380 korban mengalami penangkapan sewenang-wenang,” ungkap Pengacara Publik LBH Masyarakat, Afif Abdul Qoyim dalam acara ‘Diskusi Publik: Represifitas Aparat Polri Terus Barulang. Apakah Bisa Dikategorikan Pelanggaran HAM Berat?’ yang digelar di Gedung YLBHI, Jakarta Pusat pada Kamis, 19 September 2024.
Dari data tersebut, kata Afif, TAUD melihat pola yang terjadi di setiap aksi demonstrasi. Pola tersebut meliputi penangkapan yang disertai kekerasan, tindakan penyiksaan tak manusiawi dengan menggunakan alat seperti pentungan atau baton, penggunaan gas air mata secara serampangan, penghilangan paksa jangka singkat, serangan digital terhadap akun pribadi, dan juga tindak kekerasan kepada warga yang bukan bagian aksi masa.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Divisi Hukum KontraS, Andrie Yunus menjelaskan bahwa data-data tersebut dihimpun dari kanal Pusat Dokumentasi Kekerasan Nasional (PDKN) yang merupakan hasil kerjasama sekitar 15 organisasi Hak Asasi Manusia (HAM).
“Dari kanal pengaduan tersebut, kami mendapati pengaduan berupa dokumentasi kekerasan yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia,” kata Andrie.
Selama masa Demonstrasi Kawal Putusan MK, tutur Andrie, TAUD menjaring berbagai data korban. “Dari situ didapati tadi sejumlah angka, yang kemudian kami himpun dan ekstraksi. Setidaknya ada 135 dokumentasi yang kami lakukan,” ujarnya.
Ia mengungkapkan terdapat 33 dokumentasi berupa foto dan video yang masuk melalui kanal PDKN. Dari sejumlah pengaduan pelapor yang masuk, tercatat 254 orang mengalami luka. “Luka ini disebabkan oleh tindakan brutalitas aparat,” kata Andrie.
Berdasarkan data TAUD, luka yang dialami korban beragam, mulai dari luka lebam hingga luka terbuka. “Seperti kepala robek, bahkan ada salah satu demonstran yang bola matanya harus diangkat,” tutur Andrie.
Sebelumnya, pada 22 Agustus 2024, ribuan masyarakat dari berbagai elemen di berbagai wilayah Indonesia menggelar aksi demonstrasi sebagai bentuk protes terhadap keputusan DPR yang berencana mengabaikan putusan MK soal ambang batas dukungan dan ambang batas calon kepala daerah. DPR saat itu berupaya mengakali putusan MK dengan melakukan revisi terhadap Undang-Undang Pilkada.
Demonstrasi besar-besaran terjadi di berbagai daerah pada hari dimana DPR akan mengesahkan revisi UU Pilkada tersebut dalam rapat paripurna. Rapat paripurna DPR itu pun akhirnya batal. Meskipun demikian, bentrokan antara massa dengan aparat tak terelakkan. Sejumlah aksi kekerasan terhadap massa demonstran pun terjadi. Polisi juga sempat menetapkan sejumlah demonstran sebagai tersangka.