TEMPO.CO, Jakarta - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Jakarta Pusat menilai ada kejanggalan dalam kemitraan smelter antara PT Timah Tbk dan PT Refined Bangka Tin (RBT). Sebab PT RBT merupakan kompetitor PT Timah, tapi justru diberikan surat perintah kerja (SPK).
Atas kejanggalan itu, Hakim Ketua Eko Arianto pun mencecar Evaluator Kerja Sama Smelter PT Timah Tbk, Eko Zuniarto, perihal alasan dilakukannya kemitraan smelter tersebut.
"Pada saat akan bekerja sama smelter itu, apakah dikumpulkan enggak sama direktur bahwa kita kaji dulu bagaimana kerja samanya? Atau hanya diputus oleh direktur saja?" kata Eko Arianto di Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat, Kamis, 19 September 2024.
Eko Zuniarto menjadi saksi sidang dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk tahun anggaran 2015-2022, yang menyeret Harvey Moeis, Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT) Suparta, dan Direktur Pengembangan PT RBT, Reza Andriansyah.
Tak hanya itu, Hakim Ketua Eko Arianto merasa heran dengan alasan PT Timah memberikan peluang kepada perusahaan kompetitor dalam pengumpulan bijih timah. Perusahaan kompetitor itu adalah PT Refined Bangka Tin (RBT) yang diwakili terdakwa Harvey Moeis.
Dalam kesempatan yang sama, Eko mengaku tidak mengetahui alasan PT Timah melakukan kemitraan smelter dengan PT RBT. Namun, yang ia ketahui bahwa perusahaan memang mengeluarkan SPK jasa borongan pengangkutan bijih timah sisa hasil produksi (SHP) ke PT RBT beserta afiliasinya.
Menurut dia, pada Juli 2019, Kepala Bagian Pengelolaan PT Timah periode 2016-2017, Nono Budi Priyono pernah mendatangi unit metalogi untuk menanyakan proses biaya.
Saat itu, kata dia, Nono menanyakan perihal anggaran yang dibutuhkan di unit metalogi, kemudian biaya recovery, dan teknis peleburan. "Tapi saya tidak mengetahui apakah itu nanti untuk kerja sama atau tidak, Yang Mulia," ujarnya.
Berikutnya, untuk SPK, Eko berkata yang mengeluarkan adalah unit penambangan Direktorat Bangka PT Timah, dan dirinya tidak ikut dalam pengeluaran SPK itu.
Dalam kasus ini, Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Agung mengungkap adanya pembayaran Rp 11 triliun dari PT Timah kepada lima perusahaan smelter swasta dalam surat dakwaan. Salah satunya surat dakwaan Emil Ermindra, mantan Direktur Keuangan PT Timah.
Dalam surat dakwaan, jaksa menyebut PT Refined Bangka Tin, PT Stanindo Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Tinindo Internusa, dan CV Venus Inti Perkasa memperoleh crude tin sebanyak 63.160.827,42 kilogram. Caranya dengan mengumpulkan bijih timah illegal dari kolektor-kolektor yang terafiliasi dengan lima smelter tersebut dan perusahaan-perusahaan cangkangnya yang mendapat SPK dari PT Timah untuk membeli dari penambang-penambang illegal (perorangan) dalam wilayah izin usaha (IUP) PT Timah.
"Selanjutnya crude tin sebanyak 63.160.827,42 kilogam dibeli oleh PT Timah Tbk sebesar Rp 11.128.036.025.519,00 (sekitar Rp 11 triliun)," bunyi salah satu poin dalam surat dakwaan di kasus korupsi timah tersebut.
Pilihan Editor: PT Timah Patok Harga Sewa Smelter Spesial ke PT RBT Lebih Mahal dari Smelter Lain