TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI) mengungkap maraknya tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus tawaran kerja ke luar negeri yang beredar di media sosial. Pelaku, disebut menyasar anak muda dengan usia 18-35 tahun atau golongan Gen Z.
Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri, Yudha Nugraha menyatakan pelaku biasanya menawari korban bekerja ke luar negeri dengan iming-iming gaji besar plus tanpa kualifikasi khusus.
“Modus tawaran kerja dengan gaji Rp 15 juta hingga Rp 20 juta pada generasi muda beredar di sosial media, namun tidak meminta kualifikasi khusus, bahkan kemampuan dalam bicara bahasa inggris,” ujar Yudha saat konferensi pers di kantor Kemenlu, Jakarta Pusat, Senin, 26 Agustus 2024.
Yudha menyatakan saat ini, Kemenlu mencatat setidaknya terdapat 11 korban TPPO yang berada di Myanmar. Mereka berasal dari berbagai lokasi di Indonesia, yaitu: 8 orang berasal dari Sukabumi, 2 dari Bandung dan 1 dari Bangka Belitung.
Dari 11 orang itu 10 merupakan laki-laki dan 1 perempuan, diketahui salah satu korban berumur 22 tahun. Korban, menurut Yudha awalnya dijanjikan bekerja di Thailand. “Sebelumnya, 11 orang dijanjikan bekerja di Thailand, namun kemudian mereka dibawa masuk menuju ke Myawaddy di wilayah Myanmar.”
Para korban awalnya ditawari pekerjaan sebagai customer service dan admin crypto, namun kenyataannya mereka dipekerjakan sebagai admin penipuan daring alias online scamming. Korban juga mendapat ancaman akan diperjual belikan ke perusahaan lain jika tidak mampu memenuhi target yang sudah ditetapkan.
Yudha juga menyatakan para korban ini diminta untuk menjerat orang terdekatnya. Mereka dipaksa melakukan penipuan pada keluarga hingga tetangganya. Bahkan, mereka diminta untuk merekrut orang lain jika ingin kembali ke Indonesia.
"Mau dipulangkan dari Myanmar ke Indonesia harus merekrut orang baru, semua biaya penempatan dibiayai perusahaan dan ditukar orang baru yang harus ditempatkan disana." lanjutnya
Kemenlu pun menyatakan, para penipu biasanya membiayai seluruh kebutuhan untuk keberangkatan. Mulai dari tiket, biaya penempatan hingga fasilitas bebas visa untuk sesama negara ASEAN. Korban, menurut dia, juga dikirim menggunakan visa turis, bukan visa kerja. Bahkan, korban tidak menandatangani kontrak kerja sejak awal.
“Modus mulai bebas biaya, visa turis, tidak menandantangani kontak kerja di Indonesia. Jadi mereka berangkat tidak jelas bekerjanya sebagai apa, karena tidak ada dokumen kontak kerja yang ditawarkan." tutup Yudha.
Karena itu, Yudha mengimbau agar masyarakat lebih berhati-hati saat menerima tawaran kerja di luar negeri dengan iming-iming gaji besar. Salah satu yang bisa masyarakat deteksi, menurut dia, adalah apakah pihak pemberi kerja memberikan visa kerja. Pasalnya, visa kerja diperlukan untuk perlindungan pekerja migran Indonesia sesuai Undang-Undang nomor 18 tahun 2017.
Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Juwarih Setya, yang melaporkan kasus ini ke Kemenlu menyatakan belum melapor ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri. Alasannya, mereka masih mengembangkan kasus TPPO ini. "Masih dikembangkan, belum lapor ke bareskrim." kata Juwarih yang juga ditemui di Kantor Kemenlu.