TEMPO.CO, Jakarta - Profesor politik islam global dari Alfred Deakin Institute for Citizen for Citizenship and Globalization (ADI), Melbourne, Australia, Greg Barton merespons organisasi teroris Jamaah Islamiyah yang mendeklarasikan membubarkan diri. Deklarasi pembubaran diri itu dilakukan di Hotel Lorin, Sentul, Bogor, pada Ahad, 30 Juni 2024, yang difasilitasi Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri atau Densus 88. “Ini adalah hal yang positif,” ujarnya saat ditemui di kantornya di Jakarta Pusat pada 19 Agustus 2024 lalu.
Menurut Barton, pembubaran diri JI bukan peristiwa yang tiba-tiba terjadi. Prosesnya sudah berlangsung 10 tahun. Pria yang fasih berbahasa Indonesia itu mengatakan kelompok Jamaah Islamiyah sudah dilema sejak lama, meski sangat percaya pada jihad yang bisa dilakukan di Filipina hingga Afghanistan, tapi di Indonesia sulit. Bahkan pada 2010, pimpinan JI saat itu tidak setuju digelar latihan militer di Aceh.
Selain itu organisasi itu juga memiliki puluhan pesantren yang terafiliasi dengan jumlah santri belasan ribu. Ia tak menampik bahwa di pesantren yang terafiliasi dengan JI diajarkan kitab atau kurikulum yang radikal dan ekstrim. Namun, ia menilai masih ada tradisi pesantren dan ulama yang bisa menjadi hal positif bagi JI. Sehingga masih bisa diperbaiki. “Kalau JI tetap banyak yang ditangkap, akan sulit. Kemungkinan juga pesantren akan kandas,” ucap Barton.
Sehingga, pembubaran diri Jamaah Islamiyah merupakan kompromi yang produktif, bukan sesuatu yang merugikan ke depan. Ini juga menjadi salah satu cara untuk menghindari konflik. Namun, ia mengingatkan memang ada potensi munculnya kelompok sempalan. “Tapi setidaknya fokus Densus 88 berkurang, tingga kelompok sempalan, atau dari organisasi teror lainnya,” tutur penulis buku Biografi Gus Dur itu.
Juru Bicara Densus 88 Komisaris Besar Aswin Siregar juga menjelaskan soal potensi ancaman setelah Jamaah Islamiyah membubarkan diri. Menurut dia, JI memiliki sekitar 6 ribu orang anggota. Namun, ia tidak menjelaskan secara gamblang potensi munculnya sempalan dari anggota JI yang tidak setuju pembubaran organisasi.
“Apakah ada kemungkinan sempalan, ada saja. Tapi kami tidak bisa meramalkan atau menjawab seperti itu,” kata Aswin kepada Tempo di kantornya, Selasa, 13 Agustus 2024.
Densus 88, katanya, akan tetap melakukan asesmen, kontrol, dan evaluasi secara terus menerus terhadap anggota JI. Sehingga tidak akan kembali pada nilai-nilai organisasi sebelumnya. Selain itu, pihaknya juga memastikan pesantren yang terafiliasi tidak akan terpapar ajaran terorisme.
“Densus 88 melibatkan tim ahli dan Kementerian Agama untuk mengevaluasi kurikulum pendidikan di pesantren terafiliasi,” tutur Aswin.
Pembubaran organisasi itu dihadiri oleh para mantan petinggi JI. Mantan Amir JI yang sedang dipenjara Abu Rusydan dan Para Wijayanto juga turut dihadirkan Densus 88. Abu Fatih dan pentolan JI lain seperti Aris Siswanto dan Bambang Sukirno juga hadir. Eks Amir JI yang sudah menghirup udara bebas, Zarkasih, pun ikut berkumpul di Hotel Lorin, Sentul Bogor, pada 30 Juni 2024.
Dalam notula deklarasi yang diterima Tempo menyebutkan, mereka diantaranya turut membahas sikap tatharruf atau ekstremisme dan ide untuk merujuk manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah. Diskusi itu jauh berbeda dengan doktrin JI yang sebelumnya mempraktikkan takfiri dan “berjihad” dengan cara kekerasan seperti bom bunuh diri.
Akhirnya mereka bersepakat mendeklarasikan pembubaran diri pada hari itu. Sebanyak 16 orang senior Jamaah Islamiyah berdiri di atas panggung. Abu Rusydan duduk dan membacakan enam poin deklarasi pembubaran JI. “Menyatakan pembubaran Al-Jamaah Al-Islamiyah dan kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tutur Rusydan dikutip dari Majalah Tempo edisi 22-27 Juli 2024.
Seusai deklarasi, sebanyak 100 lebih pengurus pesantren yang terafiliasi dengan JI dari Sumatera Utara sampai Nusa Tenggara Barat di ruangan itu menyanyikan lagu Indonesia Raya. Video tersebut beredar di media sosial.
AMELIA RAHIMA SARI berkontribusi dalam penulisan artikel ini.