TEMPO.CO, Jakarta - Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara menjatuhkan vonis bebas kepada eks Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin atas perkara tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Terdakwa dinyatakan tidak terbukti bersalah sebagaimana didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Terbit adalah pemilik kerangkeng manusia yang diduga menjadi penjara perbudakan modern.
“Mengadili, menyatakan terdakwa Terbit Rencana Perangin-angin tidak terbukti bersalah sebagaimana dakwaan penuntut umum,” kata Hakim Ketua Andriansyah saat membacakan vonis di PN Stabat, Langkat, Sumatera Utara, Senin, 8 Juli 2024, seperti dikutip dari Antara.
Dalam amar putusannya, majelis hakim PN Stabat memerintahkan pembebasan terhadap terdakwa dari semua dakwaan penuntut umum, memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, serta harkat martabatnya. Pengadilan juga menyatakan permohonan restitusi tidak dapat diterima.
Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejari Langkat Hendra Abdi Sinaga menegaskan, pihaknya akan melakukan upaya hukum kasasi atas putusan bebas tersebut. Sebab, sebelumnya JPU telah menuntut terdakwa dengan pidana penjara 14 tahun dan denda Rp500 juta dengan ketentuan jika tidak dibayar, maka diganti penjara enam bulan
Selain itu, kata Hendra, pihaknya juga membebankan terdakwa membayar biaya restitusi untuk sebelas korban maupun ahli waris sebesar Rp2,3 miliar. “JPU menilai terdakwa terbukti melanggar Pasal 2 Ayat 2 Jo Pasal 11 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang sebagaimana surat dakwaan keempat,” kata Hendra.
Kilas balik kasus kerangkeng manusia milik eks Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin
Kasus TPPO
Kasus TPPO yang menjerat Terbit Rencana Perangin Angin-angin berawal dari penemuan praktik kerangkeng manusia di kediaman pribadinya, di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara pada 19 Januari 2022. Kerangkeng manusia ini disebut bakal digunakan untuk memenjarakan pekerja kebun kelapa sawit milik Terbit, yang saat itu masih menjabat sebagai Bupati Langkat.
Terbit juga sempat mengklaim kerangkeng manusia berukuran 6 x 6 meter yang terbagi dua kamar itu merupakan sel membina pelaku penyalahgunaan narkoba. Namun, polisi menyatakan kerangkeng manusia dimaksud belum memiliki izin. Di sisi lain, Badan Narkotika Nasional turut menegaskan kerangkeng itu tidak bisa disebut sebagai tempat rehabilitasi.
Adapun Terbit mengatakan sel di rumahnya merupakan tempat pembinaan. Dia mengatakan awalnya tempat itu dibuat untuk membina anggota organisasi. Terbit adalah pimpinan organisasi Pemuda Pancasila di daerah tersebut. Ia mengatakan sel di rumahnya bukanlah tempat rehabilitasi, sehingga tidak memerlukan izin.
“Tempat itu sudah umum, tidak dirahasiakan,” kata eks Bupati Langkat ini.
Temuan Komnas HAM: Ada korban meninggal, jumlahnya masih bisa bertambah
Belakangan, Migrant Care melaporkan keberadaan kerangkeng itu ke Komnas HAM. Migrant Care menduga telah terjadi perbudakan modern. Untuk menelusuri informasi, memeriksa saksi dan korban, Komnas HAM terbang ke Langkat.
Anggota Komnas HAM Choirul Anam mengantongi banyak kesaksian sepulangnya dari Langkat, pada Sabtu, 29 Januari 2022. Dia mengatakan kesaksian itu memperkuat dugaan terjadinya kekerasan di kerangkeng tersebut. Salah satu temuan, kata dia, ada sejumlah korban diduga meninggal saat menghuni kerangkeng.
“Informasi ini cukup solid,” kata Anam saat dihubungi, Ahad, 30 Januari 2022.
Kala itu Anam belum mau menyebutkan jumlah pasti korban tewas. Menurut dia, informasi adanya korban tewas didapatkan setelah memeriksa sejumlah saksi. Dia mengatakan pihak Kepolisian Daerah Sumatera Utara juga menemukan informasi serupa tentang korban tewas lainnya.
“Jumlah korban meninggal masih bisa bertambah,” ujar dia.
Selanjutnya: Para korban tewas karena disiksa