TEMPO.CO, Jakarta - Deny Setianto selaku pemeriksa Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada Direktorat LHKPN Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi saksi sidang tindak pidana pencucian uang atau TPPU yang menjerat Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh.
Dalam kesaksiannya, Deny menyebut harta Gazalba naik Rp 3,3 miliar semenjak menjadi Hakim Agung di Mahkamah Agung (MA). Gazalba pertama kali melaporkan LHKPN-nya pada 2016 dengan total aset Rp 1,8 miliar dan nilai asetnya mengalami pengurangan pada 2017.
"Di 2017 kembali melaporkan ada penurunan menjadi Rp 1,7 miliar dengan catatan utang Rp 420 juta," katanya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Jakarta Pusat, pada Senin, 12 Agustus 2024.
Diketahui, Gazalba pertama kali melaporkan LHKPN -nya sebagai hakim ad hoc di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Kota Surabaya. Pelaporan LHKPN tersebut dilakukan pada tahun 2016.
Namun, kata Deny, pada saat menjadi Hakim Agung Kamar Pidana di MA, LHKPN Gazalba naik menjadi Rp 5,1 miliar. Dia menjelasakan dalam laman LHKPN-nya, Gazalba melaporkan harta yang terdiri atas tanah dan bangunan dengan asal usul hasil sendiri.
Dia menuturkan pendapatan Gazalba di 2017, dengan penerimaan selama setahun sebesar Rp 978 juta. Kemudian, di 2018 ada penurunan nilai harta kekayaan Gazalba, yakni menjadi Rp 5 miliar dengan total penghasilan Rp 1,7 miliar. Berikutnya, harta Gazalba pada 2019 tercatat Rp 6,2 miliar dan di 2020, hartanya tercatat Rp 7,4 miliar dengan total penghasilan Rp 1,2 miliar.
Menurut dia, Gazalba kembali melaporkan LHKPN pada 2021, dengan total harta Rp 7,8 miliar. "Setelah itu, tidak ada lagi di dokumen kami yang bersangkutan melaporkan LHKPN-nya," ucapnya.
Sebelumnya, Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (Jaksa KPK) mendakwa Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh telah menerima gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Dalam dakwaan perkara gratifikasi, Jaksa menyebut Gazalba menerima uang Rp 37 miliar saat menangani perkara Peninjauan Kembali (PK) atas nama terpidana Jaffar Abdul Gaffar pada 2020.
Dalam salinan dakwaan KPK yang diterima Tempo, Jaksa menyebut uang Rp 37 miliar itu diterima Gazalba melalui pengacara bernama Neshawaty Arjad yang juga memiliki hubungan keluarga dengan Hakim Agung nonaktif itu. “Pada 15 April 2020, Peninjauan Kembali terpidana Jaffar Abdul Ghafar dikabulkan oleh terdakwa,” kata Jaksa.
Jaksa KPK mengatakan Gazalba berupaya menyembunyikan uang hasil korupsi dengan cara membeli mobil, mencicil kredit rumah, hingga belanja logam mulia.
Pada periode 2020-2022, Jaksa menyebut Gazalba telah menerima gratifikasi dari Ahmad Riyad dalam pengurusan perkara kasasi di Mahkamah Agung dengan nilai Rp 650 juta. Selama menjabat sebagai Hakim Agung Mahkamah Agung pada periode 2020-2022, Gazalba disebut telah menerima gratifikasi sebesar SGD 18.000, SGD 1.128.000, USD 181.100, Rp 9.429.6000.
Jaksa menyebut perbuatan Gazalba Saleh dalam tindak pidana ini turut dibantu oleh dua orang dekatnya, yaitu Edy Ilham Shooleh dan Fify Mulyani. “Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan,” kata Jaksa KPK saat membawakan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada Senin, 6 Mei 2024.
MUTIA YUANTISYA dan ADIL AL HASAN berkontribusi dalam artikel ini
Pilihan Editor: Penyidik Polres Metro Jaksel Terus Dalami Kasus Perusakan Mobil Jurnalis Tempo