TEMPO.CO, Jakarta - Undang-undang Pelindungan Data Pribadi atau UU PDP bakal segera berlaku pada 18 Oktober 2024 mendatang. Beleid itu nantinya bakal melindungi masyarakat dari penyebaran data pribadi tanpa persetujuan.
Namun, menurut Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, beleid tersebut menjadi ancaman khususnya bagi produk jurnalistik. Karena, undang-undang itu tidak mengecualikan penyebaran data pribadi untuk kerja jurnalistik.
“Undang-undang ini seperti pisau bermata dua, satu sisi melindungi warga negara, sisi lain bakal mengancam produk pers yang merupakan hak warga juga untuk memperoleh informasi,,” kata Direktur Eksekutif LBH Pers, Ade Wahyudin dalam sebuah diskusi publik di Jakarta, Kamis, 19 September 2024.
Ade mengatakan, dalam Pasal 15 UU PDP menyatakan warga negara dikecualikan perlindungan data pribadinya dalam sejumlah hal, yaitu: menyangkut kepentingan pertahanan dan keamanan nasional, kepentingan proses penegakan hukum, kepentingan umum dalam rangka penyelenggaraan negara, kepentingan pengawasan sektor jasa keuangan, moneter, sistem pembayaran, dan stabilitas sistem keuangan yang dilakukan dalam rangka penyelenggaraan negara, serta kepentingan statistik dan penelitian ilmiah.
“Pasal itu tidak secara eksplisit menyebutkan pengecualian bagi kerja-kerja jurnalistik,” kata Ade.
Padahal, Ade mengatakan, jurnalis bekerja untuk kepentingan publik. Dengan tidak adanya pengecualian bagi kerja jurnalistik dalam UU PDP, hal tersebut akan bertentangan dengan UU 40 tahun 1999 tentang Pers serta UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
“Yang dikhawatirkan, ini ada pasal pidananya, yang mana ketika teman-teman jurnalis melakukan liputan yang isinya tentang terduga pelaku korupsi misalnya kemudian menjelaskan data pribadinya, itu bisa saja dikriminalisasi,” kata Ade.
Untuk itu, kata Ade, LBH Pers mendesak pemerintah membuat aturan turunan yang dapat melindungi kerja-kerja jurnalistik. Selain juga sebagai amanat Undang-undang, juga agar UU PDP ini tidak dijadikan alat bagi pihak-pihak tertentu untuk melakukan kriminalisasi terhadap jurnalis.
“Pada hakikatnya kemerdekaan pers semata-mata untuk mewakili kepentingan publik terhadap akses informasi,” kata Ade.