Mengalami hal itu, QHS awalnya melaporkan aksus ini ke Polsek Metro Tamansari, namun ditolak karena alasan perbedaan wilayah hukum. Selanjutnya korban melapor ke Polsek Metro Menteng, laporannya ditolak lagi dengan alasan yang sama.
Kemudian dia diarahkan melapor ke Polsek Tebet, namun QHS merasa dilayani dengan tidak patut oleh polisi yang berjaga di sana. Petugas bahkan membuat komentar tidak pantas, seperti “Mbaknya divideoin karena cantik kali,” dan “Bapaknya ngefans sama mbaknya, mba jadi idol.”
Korban lalu diminta melapor ke Polres Metro Jakarta Selatan. Tetapi kasus ini lagi-lagi tidak bisa diproses karena tidak memenuhi kriteria pelecehan seksual sesuai ketentuan hukum.
“Mbak, kasus ini tidak bisa ditindak pidana karena memang harus sesuai dengan ketentuan harus kelihatan alat vital atau sensitif,” tutur seorang polwan, kata QHS yang mengingat ucapan itu.
Akhirnya, pelaku hanya diminta membuat surat pernyataan dan video permintaan maaf. QHS yang merasa menjadi korban pelecehan pun merasa kecewa terhadap penanganan polisi, tapi dia mengapresiasi tindakan cepat dan koordinasi pihak PT KAI (Persero) yang membantu selama proses ini.
Terlepas dari hasil yang mengecewakan, QHS berharap kejadian pelecehan seksual di KRL ini dapat menjadi peringatan bagi para perempuan lain untuk selalu waspada dan berusaha melindungi diri. “Saya berharap agar para perempuan pengguna transportasi publik di Jabodetabek lebih berhati-hati menjaga dirinya sendiri,” ujar dia.
RADEN PUTRI | TIM TEMPO
Pilihan Editor: Kompolnas Awasi Kasus Pencabulan Anak Panti Asuhan oleh Polisi di Belitung