TEMPO.CO, Jakarta - Eko Zuniarto, Evaluator Kerja Sama Smelter PT Timah Tbk, mengaku bertemu dengan Harvey Moeis yang merupakan perwakilan PT Refined Bangka Tin (RBT) sebanyak enam kali. Pertemuan dilakukan di restoran mewah Sofia at Gunawarman di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Eko mengenal Harvey karena dikenalkan oleh Direktur Utama PT RBT, Suparta. "Beliau menyebut bahwa ini (Harvey) dari RBT, itu saja,” katanya di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Jakarta Pusat, Kamis, 19 September 2024.
Eko menuturkan setiap kali bertemu dengan Harvey, dia diperintahkan untuk membawa dan melaporkan rekapitulasi progres realisasi masing-masing smelter yang bekerja sama dengan PT Timah. “Produksinya sudah berapa. Kemudian tagihan sewa smelter, karena pembelian bijih timah banyak yang belum dibayarkan PT Timah,” ujarnya.
Dalam kesaksiannya, Eko menyebut di awal kontrak, PT RBT harus memenuhi kuota kerja sama sebesar 1.200 metrik ton bijih timah. Namun, di kuartal 2019, RBT belum mampu memenuhi kuota tersebut, yakni di bawah 1.000 metrik ton bijih timah.
Di antara pertemuan itu, turut dibahas mengenai tarif peleburan yang awalnya US$4 ribu. Namun, pada 2019 ada penambahan biaya untuk pemurnian sebesar US$255 sehingga untuk tagihan, PT Timah memberikan US$4.255 sebagai biaya sewa smelter kepada PT RBT.
Kemudian di pertemuan ketiga, ucap dia, dibahas bahwa mulai 1 Mei 2019 dilakukan penurunan tarif, yang mana biaya pemurnian tidak dibayar. "Jadi, bijih timah dimurnikan smelter tapi hasilnya tetap dikirim ke timah,” kata Eko.
Selanjutnya, pada Juni 2019 tarif produksi diturunkan lagi dari US$4 ribu menjadi US$3.600 ditambah dengan biaya pemurnian US$255. Pada Agustus 2019, kembali dilakukan pertemuan untuk membahas penurunan tarif. Bahkan, di Juni 2019, dilakukan penurunan harga sewa dari US$3 ribu menjadi US$2800 ditambah biaya pemurnian US$255.
Eko menjadi saksi sidang dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk tahun anggaran 2015-2022, yang menyeret Harvey Moeis, Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT) Suparta, Direktur Pengembangan PT RBT, Reza Andriansyah.
Kasus tersebut menyeret tiga perwakilan PT RBT sebagai terdakwa, yakni Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT RBT, Suparta selaku Direktur Utama PT RBT, dan Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT.
Harvey didakwa menerima uang Rp 420 miliar bersama Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE) Helena Lim, sementara Suparta didakwa menerima aliran dana sebesar Rp 4,57 triliun dari kasus yang merugikan keuangan negara Rp 300 triliun itu.
Keduanya juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari dana yang diterima. Dengan demikian, Harvey dan Suparta terancam pidana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sementara itu, Reza tidak menerima aliran dana dari kasus dugaan korupsi tersebut. Namun, karena terlibat serta mengetahui dan menyetujui semua perbuatan korupsi itu, Reza didakwakan pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pilihan Editor: Hakim Sidang Harvey Moeis Sebut Ada Kejanggalan Dalam Kemitraan Smelter PT Timah-PT RBT